Laman

Selasa, 21 Juli 2009

Banyumas Kampung Gurami


JIKA di Boyolali ada kampung lele, maka di Banyumas ada kampung gurami. Sebutan ini pantas disematkan ke Kabupaten Banyumas karena sebagian besar produksi ikan darat di Banyumas didominasi oleh ikan gurami.

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Banyumas 2008 produksi ikan gurami lokal mencapai 1,5 juta kg (sekitar 30 persen) dari total produk perikanan darat Banyumas.

Produksi perikanan darat Banyumas pada 2008 mencapai 4.265 ton. Ini meningkat 22,79 persen jika dibandingkan dengan produksi tahun 2007 yang hanya mencapai 3.473 ton. Pada tahun 2008, dari 4.264 ton produksi ikan, 31,75 persen didominasi oleh produksi ikan gurami (1.355 ton). Jumlah produksi total ikan ini didukung dengan luasan lahan budi daya ikan seluas kurang-lebih 640 ha.

Wajar bila Banyumas menjadi kampung gurami. Selain produksi ikannya yang banyak, wilayah geografis yang strategis di bawah Gunung Slamet menjadikan kawasan Banyumas tercukupi ketersediaan airnya sepanjang tahun. Selain ketersediaan air, jenis tanah, besaran kemiringan tanah dan jenis tanah juga menjadi nilai plus yang dimiliki Banyumas.

Kampung gurami Banyumas akan bertambah ramai jika melihat rata-rata konsumsi ikan masyarakatnya. Saat ini, tingkat konsumsi ikan masyarakat Banyumas masih rendah -baru mencapai 15 kg/ kapita/ tahun, jauh dari standar Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun.

Rendahnya tingkat konsumsi ini bisa menjadi peluang dan juga tantangan bagi pemerintah Kabupaten Banyumas dalam meramaikan Banyumas dengan gurami dan jenis ikan lainnya. Peluang yang ada diantaranya besarnya potensi pasar lokal Banyumas sendiri.

Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan potensi pasar yang besar tersebut menjadi sebuah pasar yang nyata bagi produk ikan Banyumas. Selain itu juga tantangan agar pemerintah daerah tidak terjebak dalam satu ‘’frame’’ pengembangan ikan gurami saja tanpa memedulikan pengembangan jenis ikan yang lain.

Tantangan Minapolitan Kawasan minapolitan Banyumas telah ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Banyumas No 523/673/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Banyumas No.523/241/2008 tentang Penetapan Lokasi Program Pengembangan Kawasan Minapolitan Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2014. Selain SK Bupati, penetapan Banyumas sebagai minapolitan juga ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan SK No 41/Men/2009 tentang Kawasan Minapolitan.(SM 9/7).

Penetapan kawasan ini telah didahului dengan penetapan 40 kabupaten/ kota lainnya di seluruh Indonesia dengan barbagai ciri dan keunggulan yang melekat pada masing-masing kabupaten/kota. Di Jateng telah ada satu kabupaten yang telah ditetapkan menjadi kawasan minapolitan, yakni Kabupaten Boyolali dengan potensi lelenya yang besar, 10 ton/hari.

Dalam perkembangannya, konsep pengembangan Minapolitan yang berbasis pada pengembangan ikan gurami menemui tantanngan. Minimal ada dua tantangan yang dihadapi oleh Pemkab Banyumas. Pertama, masalah penawaran dan permintaan dan kedua, masalah kualitas dan kuantitas.

Jangan sampai di kemudian hari program minapolitan yang salah satu teknisnya adalah peningkatan produksi ikan, menjadikan ketidakseimbangan supply dan demand menjadi tidak seimbang.

Meningkatnya penawaran yang tidak dibarengi dengan permintaan akan menyebabkan harga komoditas ikan (gurami) jatuh. Jika demikian, maka yang rugi adalah para pembudidaya ikan (pedikan) itu sendiri. Pada 2008, total produksi ikan di Banyumas mencapai 4.265.256 kg.

Dari total produksi ikan tersebut 31,79 persen (1.355.887 kg) merupakan produksi ikan gurami, 29,90 persen (1.275.334 kg) produksi ikan tawes, 13,34 persen (568.872 kg) produksi ikan nilem, 9,92 persen (422.999 kg) produksi ikan karper, 6,69 persen (285.221 kg) ikan karper, 1,48 persen (63.230 kg) ikan bawal dan 6,89 persen (293.713 kg) jenis ikan lainnya (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas 2009).

Jika dihitung untuk memenuhi standar pola konsumsi ikan yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun, masih dibutuhkan tambahan produksi menjadi sekitar 59 ribu ton/tahun dari tingkat produksi tahun 2008 yang baru mencapai 5 ribu ton/tahun.

Agar permintaan dan penawaran ikan di masa mendatang tidak timpang, sejak sekarang pihak Pemkab Banyumas harus meningkatkan usaha peningkatan gemar makan ikan masyarakat Banyumas yang masih rendah. Misalnya mewajibkan setiap rumah makan di Banyumas menyediakan menu ikan.

Dari Hulu ke Hilir Saat ini, banyak yang hanya membudidayakan telurnya saja. Setelah itu, telur gurami dijual ke luar kota, seperti Tulungagung dan bahkan Pekanbaru. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka usaha peningkatan produksi ikan, khususnya gurami, akan tersendat.

Dan tidak jarang banyak warga Jakarta yang suka makan ikan gurami, hanya tahu kalau ikan gurami yang mereka makan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Penyebab para pedikan tidak mau membesarkan telur gurami hingga siap panen dikarenakan rentang waktu yang panjang, bisa mencapai 1 tahun.

Karena dikelola dengan manajemen yang masih konvensional dan modal yang tidak kuat, para pedikan akan kesulitan untuk membudidayakan telur gurami mereka hingga besar. Di sisi lain mereka juga memerlukan perputaran modal yang cepat agar keuntungan yang diperoleh bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.

Di sepuluh kecamatan tersebut akan dikembangkan empat sentra pengembangan kawasan, yakni sentra kawasan pembenihan (berpusat di Kecamatan Kedungbanteng), sentra kawasan pembesaran (berpusat di Kecamatan Sokaraja), sentra kawasan pemasaran (berpusat di Kecamatan Ajibarang) serta sentra kawasan industri olahan (berpusat di Kecamatan Sumpiuh).

Yang menjadi pertanyaan, apakah diversifikasi produksi ikan (khususnya gurami) yang tercermin dalam pembagian empat sentra kawasan minapolitan bisa berhasil? Waktu akan menjawabnya.


Pernah dimuat di Wacana Lokal Harian Umum Suara Merdeka, 18 Juli 2009


JIKA di Boyolali ada kampung lele, maka di Banyumas ada kampung gurami. Sebutan ini pantas disematkan ke Kabupaten Banyumas karena sebagian besar produksi ikan darat di Banyumas didominasi oleh ikan gurami.

Berdasarkan data dari Dinas Peternakan dan Perikanan Banyumas 2008 produksi ikan gurami lokal mencapai 1,5 juta kg (sekitar 30 persen) dari total produk perikanan darat Banyumas.

Produksi perikanan darat Banyumas pada 2008 mencapai 4.265 ton. Ini meningkat 22,79 persen jika dibandingkan dengan produksi tahun 2007 yang hanya mencapai 3.473 ton. Pada tahun 2008, dari 4.264 ton produksi ikan, 31,75 persen didominasi oleh produksi ikan gurami (1.355 ton). Jumlah produksi total ikan ini didukung dengan luasan lahan budi daya ikan seluas kurang-lebih 640 ha.

Wajar bila Banyumas menjadi kampung gurami. Selain produksi ikannya yang banyak, wilayah geografis yang strategis di bawah Gunung Slamet menjadikan kawasan Banyumas tercukupi ketersediaan airnya sepanjang tahun. Selain ketersediaan air, jenis tanah, besaran kemiringan tanah dan jenis tanah juga menjadi nilai plus yang dimiliki Banyumas.

Kampung gurami Banyumas akan bertambah ramai jika melihat rata-rata konsumsi ikan masyarakatnya. Saat ini, tingkat konsumsi ikan masyarakat Banyumas masih rendah -baru mencapai 15 kg/ kapita/ tahun, jauh dari standar Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun.

Rendahnya tingkat konsumsi ini bisa menjadi peluang dan juga tantangan bagi pemerintah Kabupaten Banyumas dalam meramaikan Banyumas dengan gurami dan jenis ikan lainnya. Peluang yang ada diantaranya besarnya potensi pasar lokal Banyumas sendiri.

Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan potensi pasar yang besar tersebut menjadi sebuah pasar yang nyata bagi produk ikan Banyumas. Selain itu juga tantangan agar pemerintah daerah tidak terjebak dalam satu ‘’frame’’ pengembangan ikan gurami saja tanpa memedulikan pengembangan jenis ikan yang lain.

Tantangan Minapolitan Kawasan minapolitan Banyumas telah ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Banyumas No 523/673/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Bupati Banyumas No.523/241/2008 tentang Penetapan Lokasi Program Pengembangan Kawasan Minapolitan Kabupaten Banyumas Tahun 2009-2014. Selain SK Bupati, penetapan Banyumas sebagai minapolitan juga ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan SK No 41/Men/2009 tentang Kawasan Minapolitan.(SM 9/7).

Penetapan kawasan ini telah didahului dengan penetapan 40 kabupaten/ kota lainnya di seluruh Indonesia dengan barbagai ciri dan keunggulan yang melekat pada masing-masing kabupaten/kota. Di Jateng telah ada satu kabupaten yang telah ditetapkan menjadi kawasan minapolitan, yakni Kabupaten Boyolali dengan potensi lelenya yang besar, 10 ton/hari.

Dalam perkembangannya, konsep pengembangan Minapolitan yang berbasis pada pengembangan ikan gurami menemui tantanngan. Minimal ada dua tantangan yang dihadapi oleh Pemkab Banyumas. Pertama, masalah penawaran dan permintaan dan kedua, masalah kualitas dan kuantitas.

Jangan sampai di kemudian hari program minapolitan yang salah satu teknisnya adalah peningkatan produksi ikan, menjadikan ketidakseimbangan supply dan demand menjadi tidak seimbang.

Meningkatnya penawaran yang tidak dibarengi dengan permintaan akan menyebabkan harga komoditas ikan (gurami) jatuh. Jika demikian, maka yang rugi adalah para pembudidaya ikan (pedikan) itu sendiri. Pada 2008, total produksi ikan di Banyumas mencapai 4.265.256 kg.

Dari total produksi ikan tersebut 31,79 persen (1.355.887 kg) merupakan produksi ikan gurami, 29,90 persen (1.275.334 kg) produksi ikan tawes, 13,34 persen (568.872 kg) produksi ikan nilem, 9,92 persen (422.999 kg) produksi ikan karper, 6,69 persen (285.221 kg) ikan karper, 1,48 persen (63.230 kg) ikan bawal dan 6,89 persen (293.713 kg) jenis ikan lainnya (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Banyumas 2009).

Jika dihitung untuk memenuhi standar pola konsumsi ikan yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional sebesar 32,85 kg/ kapita/ tahun, masih dibutuhkan tambahan produksi menjadi sekitar 59 ribu ton/tahun dari tingkat produksi tahun 2008 yang baru mencapai 5 ribu ton/tahun.

Agar permintaan dan penawaran ikan di masa mendatang tidak timpang, sejak sekarang pihak Pemkab Banyumas harus meningkatkan usaha peningkatan gemar makan ikan masyarakat Banyumas yang masih rendah. Misalnya mewajibkan setiap rumah makan di Banyumas menyediakan menu ikan.

Dari Hulu ke Hilir Saat ini, banyak yang hanya membudidayakan telurnya saja. Setelah itu, telur gurami dijual ke luar kota, seperti Tulungagung dan bahkan Pekanbaru. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka usaha peningkatan produksi ikan, khususnya gurami, akan tersendat.

Dan tidak jarang banyak warga Jakarta yang suka makan ikan gurami, hanya tahu kalau ikan gurami yang mereka makan berasal dari Tulungagung, Jawa Timur. Penyebab para pedikan tidak mau membesarkan telur gurami hingga siap panen dikarenakan rentang waktu yang panjang, bisa mencapai 1 tahun.

Karena dikelola dengan manajemen yang masih konvensional dan modal yang tidak kuat, para pedikan akan kesulitan untuk membudidayakan telur gurami mereka hingga besar. Di sisi lain mereka juga memerlukan perputaran modal yang cepat agar keuntungan yang diperoleh bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.

Di sepuluh kecamatan tersebut akan dikembangkan empat sentra pengembangan kawasan, yakni sentra kawasan pembenihan (berpusat di Kecamatan Kedungbanteng), sentra kawasan pembesaran (berpusat di Kecamatan Sokaraja), sentra kawasan pemasaran (berpusat di Kecamatan Ajibarang) serta sentra kawasan industri olahan (berpusat di Kecamatan Sumpiuh).

Yang menjadi pertanyaan, apakah diversifikasi produksi ikan (khususnya gurami) yang tercermin dalam pembagian empat sentra kawasan minapolitan bisa berhasil? Waktu akan menjawabnya.


Pernah dimuat di Wacana Lokal Harian Umum Suara Merdeka, 18 Juli 2009

Tidak ada komentar: