Laman

Sabtu, 17 Juli 2010

MEMBANGUN BENGAWAN SOLO MASA KINI

Menarik melihat geliat Kota Solo lima tahun terakhir dalam membangun. Salah satunya rencana pembangunan tiga apartemen, yakni Solo Paragon di bekas RSUD dr Moewardi di Mangkubumen, Solo Center Point di kawasan Purwosari, dan Kusuma Mulia Tower di Ngapeman.

Selain rencana hadirnya hunian eksklusif itu, penataan kota yang apik seperti pembangunan city walk dan penataan PKL dengan tertib menjadi salah satu tanda bagaimana Kota Solo giat mbangun kutha. Selain itu, mimpi Kota Solo yang ingin menjadi kota Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) City juga menjadi salah satu pertanda bagaimana Kota Solo memanfaatkan potensi pariwisata untuk kemajuan ekonominya.

MICE City merupakan konsep pengembangan kota dengan menjadikan kota itu menjadi ajang penyelenggaraan berbagai event bersifat regional, nasional, maupun internasional. Pengembangan MICE City secara langsung maupun tidak langsung akan menghasilkan efek pengganda bagi perekonomian melalui sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa yang ditalikan dengan sektor pariwisata. Penghubung

Geliat perkembangan Kota Solo didukung pembangunan jalan tol Semarang-Solo, sebagai satu bagian dari jalur trans-Jawa sepanjang sekitar 76 kilometer. Pembangunan yang baru memasuki seksi I Semarang-Ungaran sepanjang lebih kurang 10,9 km ini akan menjadikan Solo masa depan dengan geliat ekonomi yang lebih maju dari sekarang.

Selain Solo, daerah yang akan menerima manfaat tol Semarang-Solo adalah daerah hinterland Solo seperti Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Boyolali. Pergerakan barang, jasa, dan manusia akan lebih mudah, terutama barang-barang berorientasi ekspor mengingat di Kota Semarang terdapat Pelabuhan Tanjung Mas.

Selain Solo serta daerah hinterland-nya dan Kota Semarang sendiri, pembangunan tol Semarang-Solo juga diperkirakan berdampak bagi perekonomian Jawa Tengah secara keseluruhan. Daerah selatan Jateng (sekitar Solo) diharapkan berkembang ekonominya sehingga persebaran pertumbuhan ekonomi tidak terkonsentrasi di pantura. Tahun 2007, daerah penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Jateng terbesar adalah kabupaten/kota yang ada di jalur pantura.

Daerah itu Kota Semarang (13,41 persen, Kabupaten Kudus (8,32 persen), Kabupaten Semarang (3,60 persen), serta Kabupaten Brebes (3,52 persen). Selain keempat daerah di atas, sumbangan terhadap PDBR Jateng berada di bawah 3,5 persen, kecuali Kabupaten Cilacap (8,23 persen) (BPS, Provinsi Jateng).

Masa lalu

Ada pertanyaan yang muncul terkait pembangunan jalur trans-Jawa. Jika seandainya jalur trans-Jawa yang menghubungkan Semarang, Solo, dan Surabaya sudah terbangun dan siap dipakai, apakah Solo masih bisa “dekat” dengan Kota Semarang? Apakah dampak pengganda kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih banyak dirasakan Kota Semarang beserta kota-kota yang dilalui tol Semarang-Solo di wilayah Jateng seperti Boyolali, Kota Salatiga, dan Kabupaten Semarang?

Pertanyaan ini muncul terkait sejarah masyarakat dan geomorfologi kota serta daerah sekitarnya yang memiliki hubungan historis dengan Jawa Timur. Ketika Bengawan Solo dimanfaatkan sebagai jalur transportasi Kerajaan Pajang (daerah Boyolali-Klaten sekarang) dan Mataram Islam (sebelum terpecah), masyarakat di hulu Bengawan Solo telah memiliki hubungan perdagangan dengan orang-orang di Gresik dan Surabaya dan daerah-daerah yang dilalui Sungai Bengawan Solo.

Sejarah mencatat, dalam masa jayanya, Pajang memegang hegemoni atas 10 daerah lain yang tersebar di Jateng dan Jatim: wilayah Pajang sendiri (Boyolali-Surakarta-Klaten-Sukoharjo), Surabaya, Tuban, Pati, Pemalang, Tegal, Madiun, Kediri, Banyumas, Kedu, Mataram dan Demak. (Satyana, 2009).

Masa depan

Secara administratif, Kota Solo masuk ke dalam wilayah Jateng. Akan tetapi, secara geografis ditambah dengan kaitan sejarah masa lalu, Kota Solo lebih cenderung ke Jatim dan Yogyakarta daripada ke Kota Semarang. Kaitan sejarah inilah yang harus diantisipasi agar sebagian besar efek pengganda kegiatan ekonomi di Solo tidak lari ke luar Jateng.

Bisa jadi setelah jalur tol Solo-Surabaya yang melewati Ngawi, Kertosono, dan Mojokerto, kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih terseret ke arah timur, seperti ketika Bengawan Solo masih berfungsi sebagai salah satu jalur transportasi. Tidak salah memang jika kegiatan ekonomi Solo cenderung ke arah timur, tetapi lebih baik jika bisa dimanfaatkan wilayah di Jateng.

Harus ada upaya-upaya nyata Pemerintah Provinsi Jateng agar kegiatan ekonomi Kota Solo memberi efek pengganda yang besar bagi perekonomian Jateng, terutama daerah selatan. Salah satu yang bisa dilakukan menjadikan daerah-daerah hinterland sebagai penyokong utama kegiatan ekonomi Kota Surakarta.

Impian menjadi MICE City bagi kota Solo harus dijadikan peluang daerah hinterland seperti Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, dan Klaten untuk menumbuhkan hubungan timbal balik antara hinterland dan pusat pertumbuhan. Integrasi paket wisata bisa menjadi jurus andal dalam menumbuhkan hubungan timbal balik itu.

Seperti paket wisata kota lama Semarang-Ambarawa-Solo bagi turis- turis asing yang hendak melihat peninggalan sejarah Belanda. Wisata kebudayaan Borobudur-Yogyakarta-Prambanan-Solo bisa dijadikan alternatif lain dalam membangun hubungan timbal balik tersebut.

Pemangku kepentingan di Jateng harus benar-benar menjadikan tol Semarang-Solo menjadi Bengawan Solo masa kini yang menghubungkan Solo dengan daerah sekitar dan serta Kota Semarang dengan perencanaan matang sejak dini. Jangan sampai kebesaran Bengawan Solo masa lalu benar-benar menjelma ke dalam tol Solo-Surabaya di masa depan.

*)Pernah dimuat di Rubrik Forum KOMPAS Jawa Tengah, 23/02/2010


Menarik melihat geliat Kota Solo lima tahun terakhir dalam membangun. Salah satunya rencana pembangunan tiga apartemen, yakni Solo Paragon di bekas RSUD dr Moewardi di Mangkubumen, Solo Center Point di kawasan Purwosari, dan Kusuma Mulia Tower di Ngapeman.

Selain rencana hadirnya hunian eksklusif itu, penataan kota yang apik seperti pembangunan city walk dan penataan PKL dengan tertib menjadi salah satu tanda bagaimana Kota Solo giat mbangun kutha. Selain itu, mimpi Kota Solo yang ingin menjadi kota Meeting, Incentive, Convention, Exhibition (MICE) City juga menjadi salah satu pertanda bagaimana Kota Solo memanfaatkan potensi pariwisata untuk kemajuan ekonominya.

MICE City merupakan konsep pengembangan kota dengan menjadikan kota itu menjadi ajang penyelenggaraan berbagai event bersifat regional, nasional, maupun internasional. Pengembangan MICE City secara langsung maupun tidak langsung akan menghasilkan efek pengganda bagi perekonomian melalui sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa yang ditalikan dengan sektor pariwisata. Penghubung

Geliat perkembangan Kota Solo didukung pembangunan jalan tol Semarang-Solo, sebagai satu bagian dari jalur trans-Jawa sepanjang sekitar 76 kilometer. Pembangunan yang baru memasuki seksi I Semarang-Ungaran sepanjang lebih kurang 10,9 km ini akan menjadikan Solo masa depan dengan geliat ekonomi yang lebih maju dari sekarang.

Selain Solo, daerah yang akan menerima manfaat tol Semarang-Solo adalah daerah hinterland Solo seperti Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, dan Boyolali. Pergerakan barang, jasa, dan manusia akan lebih mudah, terutama barang-barang berorientasi ekspor mengingat di Kota Semarang terdapat Pelabuhan Tanjung Mas.

Selain Solo serta daerah hinterland-nya dan Kota Semarang sendiri, pembangunan tol Semarang-Solo juga diperkirakan berdampak bagi perekonomian Jawa Tengah secara keseluruhan. Daerah selatan Jateng (sekitar Solo) diharapkan berkembang ekonominya sehingga persebaran pertumbuhan ekonomi tidak terkonsentrasi di pantura. Tahun 2007, daerah penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Jateng terbesar adalah kabupaten/kota yang ada di jalur pantura.

Daerah itu Kota Semarang (13,41 persen, Kabupaten Kudus (8,32 persen), Kabupaten Semarang (3,60 persen), serta Kabupaten Brebes (3,52 persen). Selain keempat daerah di atas, sumbangan terhadap PDBR Jateng berada di bawah 3,5 persen, kecuali Kabupaten Cilacap (8,23 persen) (BPS, Provinsi Jateng).

Masa lalu

Ada pertanyaan yang muncul terkait pembangunan jalur trans-Jawa. Jika seandainya jalur trans-Jawa yang menghubungkan Semarang, Solo, dan Surabaya sudah terbangun dan siap dipakai, apakah Solo masih bisa “dekat” dengan Kota Semarang? Apakah dampak pengganda kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih banyak dirasakan Kota Semarang beserta kota-kota yang dilalui tol Semarang-Solo di wilayah Jateng seperti Boyolali, Kota Salatiga, dan Kabupaten Semarang?

Pertanyaan ini muncul terkait sejarah masyarakat dan geomorfologi kota serta daerah sekitarnya yang memiliki hubungan historis dengan Jawa Timur. Ketika Bengawan Solo dimanfaatkan sebagai jalur transportasi Kerajaan Pajang (daerah Boyolali-Klaten sekarang) dan Mataram Islam (sebelum terpecah), masyarakat di hulu Bengawan Solo telah memiliki hubungan perdagangan dengan orang-orang di Gresik dan Surabaya dan daerah-daerah yang dilalui Sungai Bengawan Solo.

Sejarah mencatat, dalam masa jayanya, Pajang memegang hegemoni atas 10 daerah lain yang tersebar di Jateng dan Jatim: wilayah Pajang sendiri (Boyolali-Surakarta-Klaten-Sukoharjo), Surabaya, Tuban, Pati, Pemalang, Tegal, Madiun, Kediri, Banyumas, Kedu, Mataram dan Demak. (Satyana, 2009).

Masa depan

Secara administratif, Kota Solo masuk ke dalam wilayah Jateng. Akan tetapi, secara geografis ditambah dengan kaitan sejarah masa lalu, Kota Solo lebih cenderung ke Jatim dan Yogyakarta daripada ke Kota Semarang. Kaitan sejarah inilah yang harus diantisipasi agar sebagian besar efek pengganda kegiatan ekonomi di Solo tidak lari ke luar Jateng.

Bisa jadi setelah jalur tol Solo-Surabaya yang melewati Ngawi, Kertosono, dan Mojokerto, kegiatan ekonomi Kota Solo akan lebih terseret ke arah timur, seperti ketika Bengawan Solo masih berfungsi sebagai salah satu jalur transportasi. Tidak salah memang jika kegiatan ekonomi Solo cenderung ke arah timur, tetapi lebih baik jika bisa dimanfaatkan wilayah di Jateng.

Harus ada upaya-upaya nyata Pemerintah Provinsi Jateng agar kegiatan ekonomi Kota Solo memberi efek pengganda yang besar bagi perekonomian Jateng, terutama daerah selatan. Salah satu yang bisa dilakukan menjadikan daerah-daerah hinterland sebagai penyokong utama kegiatan ekonomi Kota Surakarta.

Impian menjadi MICE City bagi kota Solo harus dijadikan peluang daerah hinterland seperti Boyolali, Karanganyar, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, dan Klaten untuk menumbuhkan hubungan timbal balik antara hinterland dan pusat pertumbuhan. Integrasi paket wisata bisa menjadi jurus andal dalam menumbuhkan hubungan timbal balik itu.

Seperti paket wisata kota lama Semarang-Ambarawa-Solo bagi turis- turis asing yang hendak melihat peninggalan sejarah Belanda. Wisata kebudayaan Borobudur-Yogyakarta-Prambanan-Solo bisa dijadikan alternatif lain dalam membangun hubungan timbal balik tersebut.

Pemangku kepentingan di Jateng harus benar-benar menjadikan tol Semarang-Solo menjadi Bengawan Solo masa kini yang menghubungkan Solo dengan daerah sekitar dan serta Kota Semarang dengan perencanaan matang sejak dini. Jangan sampai kebesaran Bengawan Solo masa lalu benar-benar menjelma ke dalam tol Solo-Surabaya di masa depan.

*)Pernah dimuat di Rubrik Forum KOMPAS Jawa Tengah, 23/02/2010


Selengkapnya...

Jumat, 09 Juli 2010

"Free Trader Area" Alun-alun Kebumen

Ada gula ada semut. Pepatah ini bisa dianalogikan dengan keberadaan alun-alun di pusat kota Kebumen. Fungsinya sebagai ruang publik, alun-alun Kebumen menjadi tempat yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadikan alun-alun sebagai gula yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak pedagang kaki lima.



Penataan alun-alun yang dibarengi dengan pembuatan pusat jajan Kebumen di Jalan Mayjen Sutoyo belum berhasil mempertemukan kehendak pedagang dan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Sikap pedagang yang menolak dipindahkan ke Jalan Mayjen Sutoyo (pojok timur laut alun-alun) berbeda dengan keinginan Pemkab Kebumen.

Meskipun dalam proses relokasi Pemkab Kebumen telah menyerahkan berbagai fasilitas, tetap saja kawasan free trader area (kawasan bebas pedagang) di sekitar alun-alun belum terwujud. Padahal, fasilitas yang diberikan oleh Pemkab antara lain bantuan gerobak dan tenda bagi PKL, fasilitas bebas tagihan listrik, PDAM, dan retribusi yang berlaku hingga 31 Desember 2009.

Jika melihat hasil renovasi Alun-alun Kebumen yang telah selesai, pusat kota Kebumen ini telah ditambah fungsinya menjadi taman kota. Hal ini terlihat dari berbagai jenis pohon peneduh yang ditanam di sekeliling alun-alun, jogging track, jalur pedestrian, joglo kecil di pojok timur laut dan barat laut, serta beberapa tempat duduk.

Keberadaan pedagang kaki lima yang menyita ruang pedestrian pastinya akan mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Meskipun demikian, keberadaan PKL tidak bisa diabaikan. Pemkab membutuhkan keberadaan PKL untuk menambah PAD-nya melalui retribusi. Begitu juga dengan masyarakat berkepentingan dengan makanan dan berbagai mainan yang dijajakan PKL.

Dengan tertatanya PKL dalam satu tempat, pusat jajan Kebumen akan benar-benar hidup. Kemungkinan pengunjung yang berdatangan bisa bertambah, PAD dari unsur retribusi pun bisa meningkat, sedangkan fungsi alun-alun bagi pedestrian tidak terganggu dengan ketiadaan PKL.

Pemkab mungkin perlu mengeluarkan peraturan bupati atau perda tentang larangan berdagang di sekeliling alun-alun. Hal ini perlu agar fungsi alun-alun bisa sesuai dengan fungsinya, tanpa harus mencaplok hak pihak lain, dalam hal ini masyarakat yang memanfaatkan sekeliling alun-alun sebagai jalur pedestrian dan ruang bermain. Toh jika pengunjung alun-alun lapar atau haus setidaknya mereka akan menyempatkan mampir ke pusat jajan yang berada di depan SMA Negeri 1 hingga depan rumah dinas wakil bupati.

Pernah dimuat di Rubrik Kota Kita, KOMPAS Jawa Tengah, 18 Mei 2010

Ada gula ada semut. Pepatah ini bisa dianalogikan dengan keberadaan alun-alun di pusat kota Kebumen. Fungsinya sebagai ruang publik, alun-alun Kebumen menjadi tempat yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat. Hal inilah yang kemudian menjadikan alun-alun sebagai gula yang menjadi sumber penghidupan bagi banyak pedagang kaki lima.



Penataan alun-alun yang dibarengi dengan pembuatan pusat jajan Kebumen di Jalan Mayjen Sutoyo belum berhasil mempertemukan kehendak pedagang dan Pemerintah Kabupaten Kebumen. Sikap pedagang yang menolak dipindahkan ke Jalan Mayjen Sutoyo (pojok timur laut alun-alun) berbeda dengan keinginan Pemkab Kebumen.

Meskipun dalam proses relokasi Pemkab Kebumen telah menyerahkan berbagai fasilitas, tetap saja kawasan free trader area (kawasan bebas pedagang) di sekitar alun-alun belum terwujud. Padahal, fasilitas yang diberikan oleh Pemkab antara lain bantuan gerobak dan tenda bagi PKL, fasilitas bebas tagihan listrik, PDAM, dan retribusi yang berlaku hingga 31 Desember 2009.

Jika melihat hasil renovasi Alun-alun Kebumen yang telah selesai, pusat kota Kebumen ini telah ditambah fungsinya menjadi taman kota. Hal ini terlihat dari berbagai jenis pohon peneduh yang ditanam di sekeliling alun-alun, jogging track, jalur pedestrian, joglo kecil di pojok timur laut dan barat laut, serta beberapa tempat duduk.

Keberadaan pedagang kaki lima yang menyita ruang pedestrian pastinya akan mengganggu kenyamanan pejalan kaki. Meskipun demikian, keberadaan PKL tidak bisa diabaikan. Pemkab membutuhkan keberadaan PKL untuk menambah PAD-nya melalui retribusi. Begitu juga dengan masyarakat berkepentingan dengan makanan dan berbagai mainan yang dijajakan PKL.

Dengan tertatanya PKL dalam satu tempat, pusat jajan Kebumen akan benar-benar hidup. Kemungkinan pengunjung yang berdatangan bisa bertambah, PAD dari unsur retribusi pun bisa meningkat, sedangkan fungsi alun-alun bagi pedestrian tidak terganggu dengan ketiadaan PKL.

Pemkab mungkin perlu mengeluarkan peraturan bupati atau perda tentang larangan berdagang di sekeliling alun-alun. Hal ini perlu agar fungsi alun-alun bisa sesuai dengan fungsinya, tanpa harus mencaplok hak pihak lain, dalam hal ini masyarakat yang memanfaatkan sekeliling alun-alun sebagai jalur pedestrian dan ruang bermain. Toh jika pengunjung alun-alun lapar atau haus setidaknya mereka akan menyempatkan mampir ke pusat jajan yang berada di depan SMA Negeri 1 hingga depan rumah dinas wakil bupati.

Pernah dimuat di Rubrik Kota Kita, KOMPAS Jawa Tengah, 18 Mei 2010

Selengkapnya...