Laman

Minggu, 10 Mei 2009

Mencari Pemimpin Bervisi Keadilan Sosial

Bangsa Indonesia kini sedang berada di dalam proses pencarian pemimpin baru. Seorang pemimpin yang harus memiliki visi dan misi keadilan social. Sebuah keadilan sosial yang merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Itulah yang diamanatkan oleh Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejarah mencatat, semenjak kemerdekaan negeri ini belum pernah ada pemimpin yang berhasil mewujudkan visi dan misi keadilan sosial. Yang ada hanyalah catatan di atas kertas yang tidak pernah berhasil terlihat implementasinya di masyarakat.

Di zaman Soekarno, dengan kondisi keamanan dan politik dalam negeri yang labil pasca perang kemerdekaan membuat cita-cita berdikari hanya tinggal kenangan. Cita-cita berdikari di bidang ekonomi, politik serta kebudayaan sebagai adopsi dari swadesi Ghandi, hingga saat ini cita-cita sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api.

Berakhirnya kepemimpinan Soekarno yang digantikan Soeharto pada waktu itu memberikan secercah harapan akan terwujudnya sila ke lima Pancasila. Dengan adopsi teori pembangunan Rostow, menjalankan tahap-tahap pembangunan nasional dengan PELITA-nya. Jargon pemerintah yang berbunyi “menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” menjadi semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya.

Tapi resesi ekonomi yang melanda Indoensia tahun 1997 memupuskan cita-cita bangsa ketika kita berada pada fase take-off dari teori pembangunannya Rostow. Liberalisasi sektor moneter dengan Pakto 88, hutang luar negeri yang semakin menumpuk serta besarnya komponen import indsutri dalam negeri merupakan salah satu faktor pendorong parahnya krisis moneter 1997 yang bermula dari Thailand.

Sekarang, sisa-sisa krisis 1997 hingga kini masih terasa. Terbatasnya dana pemerintah untuk membangun sektor infrastruktur sebagai salah satu sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu contohnya.

Infrastructur summit yang diselenggarakan oleh pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 hingga saat ini dari 91 proyek yang ditawarkan, sampai kini baru 4 yang sudah beroperasi, sementara 9 proyek dalam tahap konstruksi. Pada penyelenggaraan Pertemuan puncak infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 dan 2006, harapan besar menjaring investor global digantungkan. Animo investor memang sangat besar, tetapi ternyata justru pemerintah sendiri yang tak siap (Kompas, 24/04/09).

Tatanan ekonomi politik yang belum stabil dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para reformis 98, menjadikan Indonesia berat untuk menjalankan visi jangka panjangnya. Seperti kembali ke masa orde lama, prioritas bangsa saat ini adalah menata kehidupan politik dengan harapan bisa menjadi fondasi kuat bagi proses pembangunan bidang ekonomi serta bidang yang lainnya. Tapi sampai kapan?

Visi 2030

Ketika bangsa ini memperingati satu abad kebangkitan nasional, tahun 2008 lalu, dicanangkan sebuah visi Indonesia 2030. Empat pencapaian yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah pertama, Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia bersama China, India, AS, dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk ke dalam daftar 500 perushaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang baik dan keempat, terwujudnya kualitas hidup yang modern dan merata. Poin terakhir dari empat pencapaian diatas mencerminkan sebuah visi membangun masyarakat yang didalamnya terdapat visi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pastinya tidak mudah untuk mewujudkan visi tersebut. Kemiskinan, ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam menggunakan tangan sendiri, keterbelakangan dalam bidang pendidikan yang menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia serta berbagai permasalahan lainnya merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika tidak segera ditangani, niscaya visi 2030 atau kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud.

Perlu kerja keras seluruh elemen bangsa ini agar pencapaian visi kesejahteraan sosial bisa terwujud dengan baik. Kerja keras yang pastinya akan membutuhkan pengorbanan yang besar baik waktu, tenaga, harta, dan bahkan jiwa.

Negarawan

Yang terpenting adalah adanya sosok pemimpin yang bisa menjadi sosok negarawan. Negarawan memiliki level lebih tinggi dari seorang pemimpin parpol, politikus, pengusaha dan bahkan seorang presiden. Negarawan adalah adalah sosok manusia yang memiliki curahan hati, jiwa, pikiran, serta raga yang besar terhadap negaranya.

Memiliki visi jauh ke depan tentang apa yang menjadi kebutuhan bangsanya, integritas, tidak takut hidup mlarat, etika yang baik, dan yang pastinya tidak egois mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, baik karena terpaksa maupun tidak.

Yang menjadi pertanyaan adalah adakah sosok negarawan saat ini ? Jawabannya tidak, setidaknya sosok yang memiliki level seperti Gajah Mada. Atau seperti Sjahrir, Hatta dan Natsir. Dimasa ketika segalanya harus menggunakan uang, sangatlah sulit mencari sosok seorang negarawan. Yang ada hanyalah politikus yang memiliki topeng emas negarawan. Jika demikian adanya, maka janganlah bangsa ini berharap akan kemunculan sosok negarawan.

Yang menjadi tuntutan bagi kita semua, rakyat Indonesia, adalah menjadi negarawan bagi diri sendiri. Negarawan yang akan menjadikan tindak tanduk kita dalam sehari-hari jauh dari kemunafikan. Jika demikian, maka bangsa ini akan dipenuhi negarawan-negarawan kecil. Mungkinkah? Mungkin. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, everything is possible.

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 7 Mei 2009

Bangsa Indonesia kini sedang berada di dalam proses pencarian pemimpin baru. Seorang pemimpin yang harus memiliki visi dan misi keadilan social. Sebuah keadilan sosial yang merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Itulah yang diamanatkan oleh Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejarah mencatat, semenjak kemerdekaan negeri ini belum pernah ada pemimpin yang berhasil mewujudkan visi dan misi keadilan sosial. Yang ada hanyalah catatan di atas kertas yang tidak pernah berhasil terlihat implementasinya di masyarakat.

Di zaman Soekarno, dengan kondisi keamanan dan politik dalam negeri yang labil pasca perang kemerdekaan membuat cita-cita berdikari hanya tinggal kenangan. Cita-cita berdikari di bidang ekonomi, politik serta kebudayaan sebagai adopsi dari swadesi Ghandi, hingga saat ini cita-cita sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api.

Berakhirnya kepemimpinan Soekarno yang digantikan Soeharto pada waktu itu memberikan secercah harapan akan terwujudnya sila ke lima Pancasila. Dengan adopsi teori pembangunan Rostow, menjalankan tahap-tahap pembangunan nasional dengan PELITA-nya. Jargon pemerintah yang berbunyi “menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” menjadi semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya.

Tapi resesi ekonomi yang melanda Indoensia tahun 1997 memupuskan cita-cita bangsa ketika kita berada pada fase take-off dari teori pembangunannya Rostow. Liberalisasi sektor moneter dengan Pakto 88, hutang luar negeri yang semakin menumpuk serta besarnya komponen import indsutri dalam negeri merupakan salah satu faktor pendorong parahnya krisis moneter 1997 yang bermula dari Thailand.

Sekarang, sisa-sisa krisis 1997 hingga kini masih terasa. Terbatasnya dana pemerintah untuk membangun sektor infrastruktur sebagai salah satu sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu contohnya.

Infrastructur summit yang diselenggarakan oleh pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 hingga saat ini dari 91 proyek yang ditawarkan, sampai kini baru 4 yang sudah beroperasi, sementara 9 proyek dalam tahap konstruksi. Pada penyelenggaraan Pertemuan puncak infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 dan 2006, harapan besar menjaring investor global digantungkan. Animo investor memang sangat besar, tetapi ternyata justru pemerintah sendiri yang tak siap (Kompas, 24/04/09).

Tatanan ekonomi politik yang belum stabil dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para reformis 98, menjadikan Indonesia berat untuk menjalankan visi jangka panjangnya. Seperti kembali ke masa orde lama, prioritas bangsa saat ini adalah menata kehidupan politik dengan harapan bisa menjadi fondasi kuat bagi proses pembangunan bidang ekonomi serta bidang yang lainnya. Tapi sampai kapan?

Visi 2030

Ketika bangsa ini memperingati satu abad kebangkitan nasional, tahun 2008 lalu, dicanangkan sebuah visi Indonesia 2030. Empat pencapaian yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah pertama, Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia bersama China, India, AS, dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk ke dalam daftar 500 perushaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang baik dan keempat, terwujudnya kualitas hidup yang modern dan merata. Poin terakhir dari empat pencapaian diatas mencerminkan sebuah visi membangun masyarakat yang didalamnya terdapat visi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pastinya tidak mudah untuk mewujudkan visi tersebut. Kemiskinan, ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam menggunakan tangan sendiri, keterbelakangan dalam bidang pendidikan yang menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia serta berbagai permasalahan lainnya merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika tidak segera ditangani, niscaya visi 2030 atau kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud.

Perlu kerja keras seluruh elemen bangsa ini agar pencapaian visi kesejahteraan sosial bisa terwujud dengan baik. Kerja keras yang pastinya akan membutuhkan pengorbanan yang besar baik waktu, tenaga, harta, dan bahkan jiwa.

Negarawan

Yang terpenting adalah adanya sosok pemimpin yang bisa menjadi sosok negarawan. Negarawan memiliki level lebih tinggi dari seorang pemimpin parpol, politikus, pengusaha dan bahkan seorang presiden. Negarawan adalah adalah sosok manusia yang memiliki curahan hati, jiwa, pikiran, serta raga yang besar terhadap negaranya.

Memiliki visi jauh ke depan tentang apa yang menjadi kebutuhan bangsanya, integritas, tidak takut hidup mlarat, etika yang baik, dan yang pastinya tidak egois mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, baik karena terpaksa maupun tidak.

Yang menjadi pertanyaan adalah adakah sosok negarawan saat ini ? Jawabannya tidak, setidaknya sosok yang memiliki level seperti Gajah Mada. Atau seperti Sjahrir, Hatta dan Natsir. Dimasa ketika segalanya harus menggunakan uang, sangatlah sulit mencari sosok seorang negarawan. Yang ada hanyalah politikus yang memiliki topeng emas negarawan. Jika demikian adanya, maka janganlah bangsa ini berharap akan kemunculan sosok negarawan.

Yang menjadi tuntutan bagi kita semua, rakyat Indonesia, adalah menjadi negarawan bagi diri sendiri. Negarawan yang akan menjadikan tindak tanduk kita dalam sehari-hari jauh dari kemunafikan. Jika demikian, maka bangsa ini akan dipenuhi negarawan-negarawan kecil. Mungkinkah? Mungkin. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, everything is possible.

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 7 Mei 2009

Tidak ada komentar: