Laman

Rabu, 21 Januari 2009

APBN 2009 DAN KRISIS FINANSIAL GLOBAL

Tahun 2009 menjadi tahun yang terasa berat bagi perekonomian Indonesia. Dampak krisis global yang berpangkal pada kredit macet di Amerika diprediksikan akan sangat terasa pada pertengahan tahun 2009. Menurunnya order ekspor Indonesia ke Amerika yang berujung pada PHK di dalam negeri telah menjadikan ancaman serius pada bertambahnya pengangguran di Indonesia. Kondisi ini tentunya akan mengancam kinerja perekonomian yang mengancam pembentukan GDP dan pertumbuhan ekonomi.

Volatilitas kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang tidak stabil dan cenderung memperlemah nilai rupiah terhadap dollar sebagai dampak terguncangnya pasar keuangan dunia juga menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia. Nilai rupiah yang mencapai 11.000 per satu dollar, jelas akan memperlemah posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Ekspor yang menurun dan kebutuhan impor yang cenderung stabil akan menguras cadangan devisa nasional.

Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap asumsi-asumsi yang menjadi dasar penyusunan APBN 2009. RAPBN yang dirancang semenjak tahun 2008 telah mengalami perombakan total. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 6 persen, dirubah menjadi 5 persen. Angka ini mengacu pada ramalan ekstrem pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,5 persen dan 4,5 persen.

Asumsi nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika juga dirubah. Dari semula 9.200 rupiah per dollar menjadi 11.000 rupiah. Defisit anggaran yang semula sebesar 1 persen dari GDP menjadi 2,5 persen atau naik dari Rp 51,3 triliun menjadi Rp 132 triliun. sumsi harga minyak mentah dirubah dari yang dulunya 85 dollar per barrel, diturunkan menjadi 45 dolar per barrel. Untuk pendapatan negara yang semula sebesar Rp 985,7 triliun menjadi Rp 857,7 triliun. Asumsi inilah yang menyebabkan defisit APBN berubah menjadi 2,5 persen.

Perubahan deisit ini akan menjadi beban pemerintah pastinya. Ketika penerimaan negara terancam turun dikarenakan krisis finansial global, disisi lain pemerintah memiliki kewajiban-kewajiban yang tetap. Langkah pemerintah menerbitkan SUN dinilai tepat. Jelas hal inilah yang bisa dilakukan, selain memanfaatkan instrumen utang lainnya seperti penerbitan SUKUK dan memanfaatkan standby loan yang sekarang ada sekitar US$ 5 miliar. Standby loan ini merupakan hasil negosiasi pemerintah terhadap lembaga keungan internasional seperti IDB dan ADB serta beberapa negara maju untuk menyediakan dananya apabila Indonesia benar-benar membutuhkan dengan tingkat bunga yang rendah jika dibandingkan dengan jenis pinjaman lainnya.

Cara Lain

Besarnya defisit APBN dan ancaman turunnya pendapatan negara terkait krisis finansial global, jelas mengancam kestabilan perekonomian nasional. Meskipun ancaman tersebut bisa ditutupi dengan hutang, tetap saja perilaku hutang tidaklah bisa dibenarkan seratus persen.

Penyerapan APBN tahun 2008 yang tidak maksimal merupakan tanda mengapa perilaku hutang dalam menutupi defisit APBN harus dikaji ulang. Hal ini menunjukkan beberapa indikasi. Pertama, tidak efisiennya APBN nasional, sehingga penyerapan dalam bentuk berbagai proyek tidak maksimal. Kedua, takutnya para pejabat pemerintah menjadi pimpro (pimpinan proyek) terhadap ketatnya aturan keuangan saat ini serta ketatnya pengawasan KPK dan BPK yang bisa berujung pada jeruji besi.

Kedua permasalahan tersebut, perlu dibenahi. Momentum tahun 2009 sebagai tahun kreatif yang dicanangkan oleh presiden SBY seharusnya menjadikan bagaimana APBN 2009 bisa dimanafaatkan seefektif dan seefisien mungkin. Dengan adanya pencanangan tahun kreatif ini, maka tidak ada alasan bagi rendahnya penyerapan APBN. Penyerapan APBN sangat diperlukan secepat dan setepat mungkin agar terwujud multiplier efek ekonomi yang tinggi. Jangan sampai kejadian tahun 2008 terulang kembali. Penyerapan anggaran belanja yang terlambat yang menjadikan departemen-departemen membelanjakan anggarannya untuk iklan layanan masyarakat dan seminar-seminar di akhir tahun.

Tahun 2009 menjadi tahun yang terasa berat bagi perekonomian Indonesia. Dampak krisis global yang berpangkal pada kredit macet di Amerika diprediksikan akan sangat terasa pada pertengahan tahun 2009. Menurunnya order ekspor Indonesia ke Amerika yang berujung pada PHK di dalam negeri telah menjadikan ancaman serius pada bertambahnya pengangguran di Indonesia. Kondisi ini tentunya akan mengancam kinerja perekonomian yang mengancam pembentukan GDP dan pertumbuhan ekonomi.

Volatilitas kurs rupiah terhadap dollar Amerika yang tidak stabil dan cenderung memperlemah nilai rupiah terhadap dollar sebagai dampak terguncangnya pasar keuangan dunia juga menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia. Nilai rupiah yang mencapai 11.000 per satu dollar, jelas akan memperlemah posisi Indonesia dalam perdagangan internasional. Ekspor yang menurun dan kebutuhan impor yang cenderung stabil akan menguras cadangan devisa nasional.

Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap asumsi-asumsi yang menjadi dasar penyusunan APBN 2009. RAPBN yang dirancang semenjak tahun 2008 telah mengalami perombakan total. Pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 6 persen, dirubah menjadi 5 persen. Angka ini mengacu pada ramalan ekstrem pertumbuhan ekonomi pada kisaran 5,5 persen dan 4,5 persen.

Asumsi nilai kurs rupiah terhadap dollar Amerika juga dirubah. Dari semula 9.200 rupiah per dollar menjadi 11.000 rupiah. Defisit anggaran yang semula sebesar 1 persen dari GDP menjadi 2,5 persen atau naik dari Rp 51,3 triliun menjadi Rp 132 triliun. sumsi harga minyak mentah dirubah dari yang dulunya 85 dollar per barrel, diturunkan menjadi 45 dolar per barrel. Untuk pendapatan negara yang semula sebesar Rp 985,7 triliun menjadi Rp 857,7 triliun. Asumsi inilah yang menyebabkan defisit APBN berubah menjadi 2,5 persen.

Perubahan deisit ini akan menjadi beban pemerintah pastinya. Ketika penerimaan negara terancam turun dikarenakan krisis finansial global, disisi lain pemerintah memiliki kewajiban-kewajiban yang tetap. Langkah pemerintah menerbitkan SUN dinilai tepat. Jelas hal inilah yang bisa dilakukan, selain memanfaatkan instrumen utang lainnya seperti penerbitan SUKUK dan memanfaatkan standby loan yang sekarang ada sekitar US$ 5 miliar. Standby loan ini merupakan hasil negosiasi pemerintah terhadap lembaga keungan internasional seperti IDB dan ADB serta beberapa negara maju untuk menyediakan dananya apabila Indonesia benar-benar membutuhkan dengan tingkat bunga yang rendah jika dibandingkan dengan jenis pinjaman lainnya.

Cara Lain

Besarnya defisit APBN dan ancaman turunnya pendapatan negara terkait krisis finansial global, jelas mengancam kestabilan perekonomian nasional. Meskipun ancaman tersebut bisa ditutupi dengan hutang, tetap saja perilaku hutang tidaklah bisa dibenarkan seratus persen.

Penyerapan APBN tahun 2008 yang tidak maksimal merupakan tanda mengapa perilaku hutang dalam menutupi defisit APBN harus dikaji ulang. Hal ini menunjukkan beberapa indikasi. Pertama, tidak efisiennya APBN nasional, sehingga penyerapan dalam bentuk berbagai proyek tidak maksimal. Kedua, takutnya para pejabat pemerintah menjadi pimpro (pimpinan proyek) terhadap ketatnya aturan keuangan saat ini serta ketatnya pengawasan KPK dan BPK yang bisa berujung pada jeruji besi.

Kedua permasalahan tersebut, perlu dibenahi. Momentum tahun 2009 sebagai tahun kreatif yang dicanangkan oleh presiden SBY seharusnya menjadikan bagaimana APBN 2009 bisa dimanafaatkan seefektif dan seefisien mungkin. Dengan adanya pencanangan tahun kreatif ini, maka tidak ada alasan bagi rendahnya penyerapan APBN. Penyerapan APBN sangat diperlukan secepat dan setepat mungkin agar terwujud multiplier efek ekonomi yang tinggi. Jangan sampai kejadian tahun 2008 terulang kembali. Penyerapan anggaran belanja yang terlambat yang menjadikan departemen-departemen membelanjakan anggarannya untuk iklan layanan masyarakat dan seminar-seminar di akhir tahun.

Selengkapnya...