Laman

Minggu, 10 Mei 2009

Mencari Pemimpin Bervisi Keadilan Sosial

Bangsa Indonesia kini sedang berada di dalam proses pencarian pemimpin baru. Seorang pemimpin yang harus memiliki visi dan misi keadilan social. Sebuah keadilan sosial yang merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Itulah yang diamanatkan oleh Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejarah mencatat, semenjak kemerdekaan negeri ini belum pernah ada pemimpin yang berhasil mewujudkan visi dan misi keadilan sosial. Yang ada hanyalah catatan di atas kertas yang tidak pernah berhasil terlihat implementasinya di masyarakat.

Di zaman Soekarno, dengan kondisi keamanan dan politik dalam negeri yang labil pasca perang kemerdekaan membuat cita-cita berdikari hanya tinggal kenangan. Cita-cita berdikari di bidang ekonomi, politik serta kebudayaan sebagai adopsi dari swadesi Ghandi, hingga saat ini cita-cita sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api.

Berakhirnya kepemimpinan Soekarno yang digantikan Soeharto pada waktu itu memberikan secercah harapan akan terwujudnya sila ke lima Pancasila. Dengan adopsi teori pembangunan Rostow, menjalankan tahap-tahap pembangunan nasional dengan PELITA-nya. Jargon pemerintah yang berbunyi “menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” menjadi semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya.

Tapi resesi ekonomi yang melanda Indoensia tahun 1997 memupuskan cita-cita bangsa ketika kita berada pada fase take-off dari teori pembangunannya Rostow. Liberalisasi sektor moneter dengan Pakto 88, hutang luar negeri yang semakin menumpuk serta besarnya komponen import indsutri dalam negeri merupakan salah satu faktor pendorong parahnya krisis moneter 1997 yang bermula dari Thailand.

Sekarang, sisa-sisa krisis 1997 hingga kini masih terasa. Terbatasnya dana pemerintah untuk membangun sektor infrastruktur sebagai salah satu sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu contohnya.

Infrastructur summit yang diselenggarakan oleh pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 hingga saat ini dari 91 proyek yang ditawarkan, sampai kini baru 4 yang sudah beroperasi, sementara 9 proyek dalam tahap konstruksi. Pada penyelenggaraan Pertemuan puncak infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 dan 2006, harapan besar menjaring investor global digantungkan. Animo investor memang sangat besar, tetapi ternyata justru pemerintah sendiri yang tak siap (Kompas, 24/04/09).

Tatanan ekonomi politik yang belum stabil dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para reformis 98, menjadikan Indonesia berat untuk menjalankan visi jangka panjangnya. Seperti kembali ke masa orde lama, prioritas bangsa saat ini adalah menata kehidupan politik dengan harapan bisa menjadi fondasi kuat bagi proses pembangunan bidang ekonomi serta bidang yang lainnya. Tapi sampai kapan?

Visi 2030

Ketika bangsa ini memperingati satu abad kebangkitan nasional, tahun 2008 lalu, dicanangkan sebuah visi Indonesia 2030. Empat pencapaian yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah pertama, Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia bersama China, India, AS, dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk ke dalam daftar 500 perushaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang baik dan keempat, terwujudnya kualitas hidup yang modern dan merata. Poin terakhir dari empat pencapaian diatas mencerminkan sebuah visi membangun masyarakat yang didalamnya terdapat visi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pastinya tidak mudah untuk mewujudkan visi tersebut. Kemiskinan, ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam menggunakan tangan sendiri, keterbelakangan dalam bidang pendidikan yang menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia serta berbagai permasalahan lainnya merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika tidak segera ditangani, niscaya visi 2030 atau kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud.

Perlu kerja keras seluruh elemen bangsa ini agar pencapaian visi kesejahteraan sosial bisa terwujud dengan baik. Kerja keras yang pastinya akan membutuhkan pengorbanan yang besar baik waktu, tenaga, harta, dan bahkan jiwa.

Negarawan

Yang terpenting adalah adanya sosok pemimpin yang bisa menjadi sosok negarawan. Negarawan memiliki level lebih tinggi dari seorang pemimpin parpol, politikus, pengusaha dan bahkan seorang presiden. Negarawan adalah adalah sosok manusia yang memiliki curahan hati, jiwa, pikiran, serta raga yang besar terhadap negaranya.

Memiliki visi jauh ke depan tentang apa yang menjadi kebutuhan bangsanya, integritas, tidak takut hidup mlarat, etika yang baik, dan yang pastinya tidak egois mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, baik karena terpaksa maupun tidak.

Yang menjadi pertanyaan adalah adakah sosok negarawan saat ini ? Jawabannya tidak, setidaknya sosok yang memiliki level seperti Gajah Mada. Atau seperti Sjahrir, Hatta dan Natsir. Dimasa ketika segalanya harus menggunakan uang, sangatlah sulit mencari sosok seorang negarawan. Yang ada hanyalah politikus yang memiliki topeng emas negarawan. Jika demikian adanya, maka janganlah bangsa ini berharap akan kemunculan sosok negarawan.

Yang menjadi tuntutan bagi kita semua, rakyat Indonesia, adalah menjadi negarawan bagi diri sendiri. Negarawan yang akan menjadikan tindak tanduk kita dalam sehari-hari jauh dari kemunafikan. Jika demikian, maka bangsa ini akan dipenuhi negarawan-negarawan kecil. Mungkinkah? Mungkin. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, everything is possible.

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 7 Mei 2009

Bangsa Indonesia kini sedang berada di dalam proses pencarian pemimpin baru. Seorang pemimpin yang harus memiliki visi dan misi keadilan social. Sebuah keadilan sosial yang merata dan bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Itulah yang diamanatkan oleh Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai dasar Negara Indonesia.

Sejarah mencatat, semenjak kemerdekaan negeri ini belum pernah ada pemimpin yang berhasil mewujudkan visi dan misi keadilan sosial. Yang ada hanyalah catatan di atas kertas yang tidak pernah berhasil terlihat implementasinya di masyarakat.

Di zaman Soekarno, dengan kondisi keamanan dan politik dalam negeri yang labil pasca perang kemerdekaan membuat cita-cita berdikari hanya tinggal kenangan. Cita-cita berdikari di bidang ekonomi, politik serta kebudayaan sebagai adopsi dari swadesi Ghandi, hingga saat ini cita-cita sila kelima Pancasila masih jauh panggang dari api.

Berakhirnya kepemimpinan Soekarno yang digantikan Soeharto pada waktu itu memberikan secercah harapan akan terwujudnya sila ke lima Pancasila. Dengan adopsi teori pembangunan Rostow, menjalankan tahap-tahap pembangunan nasional dengan PELITA-nya. Jargon pemerintah yang berbunyi “menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” menjadi semangat baru bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-citanya.

Tapi resesi ekonomi yang melanda Indoensia tahun 1997 memupuskan cita-cita bangsa ketika kita berada pada fase take-off dari teori pembangunannya Rostow. Liberalisasi sektor moneter dengan Pakto 88, hutang luar negeri yang semakin menumpuk serta besarnya komponen import indsutri dalam negeri merupakan salah satu faktor pendorong parahnya krisis moneter 1997 yang bermula dari Thailand.

Sekarang, sisa-sisa krisis 1997 hingga kini masih terasa. Terbatasnya dana pemerintah untuk membangun sektor infrastruktur sebagai salah satu sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, merupakan salah satu contohnya.

Infrastructur summit yang diselenggarakan oleh pemerintah pada tahun 2005 dan 2006 hingga saat ini dari 91 proyek yang ditawarkan, sampai kini baru 4 yang sudah beroperasi, sementara 9 proyek dalam tahap konstruksi. Pada penyelenggaraan Pertemuan puncak infrastruktur (Infrastructure Summit) 2005 dan 2006, harapan besar menjaring investor global digantungkan. Animo investor memang sangat besar, tetapi ternyata justru pemerintah sendiri yang tak siap (Kompas, 24/04/09).

Tatanan ekonomi politik yang belum stabil dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para reformis 98, menjadikan Indonesia berat untuk menjalankan visi jangka panjangnya. Seperti kembali ke masa orde lama, prioritas bangsa saat ini adalah menata kehidupan politik dengan harapan bisa menjadi fondasi kuat bagi proses pembangunan bidang ekonomi serta bidang yang lainnya. Tapi sampai kapan?

Visi 2030

Ketika bangsa ini memperingati satu abad kebangkitan nasional, tahun 2008 lalu, dicanangkan sebuah visi Indonesia 2030. Empat pencapaian yang diinginkan oleh bangsa Indonesia adalah pertama, Indonesia masuk dalam lima besar ekonomi dunia bersama China, India, AS, dan Uni Eropa. Kedua, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk ke dalam daftar 500 perushaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang baik dan keempat, terwujudnya kualitas hidup yang modern dan merata. Poin terakhir dari empat pencapaian diatas mencerminkan sebuah visi membangun masyarakat yang didalamnya terdapat visi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Pastinya tidak mudah untuk mewujudkan visi tersebut. Kemiskinan, ketidakberdayaan mengelola sumber daya alam menggunakan tangan sendiri, keterbelakangan dalam bidang pendidikan yang menghinggapi sebagian besar rakyat Indonesia serta berbagai permasalahan lainnya merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika tidak segera ditangani, niscaya visi 2030 atau kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan terwujud.

Perlu kerja keras seluruh elemen bangsa ini agar pencapaian visi kesejahteraan sosial bisa terwujud dengan baik. Kerja keras yang pastinya akan membutuhkan pengorbanan yang besar baik waktu, tenaga, harta, dan bahkan jiwa.

Negarawan

Yang terpenting adalah adanya sosok pemimpin yang bisa menjadi sosok negarawan. Negarawan memiliki level lebih tinggi dari seorang pemimpin parpol, politikus, pengusaha dan bahkan seorang presiden. Negarawan adalah adalah sosok manusia yang memiliki curahan hati, jiwa, pikiran, serta raga yang besar terhadap negaranya.

Memiliki visi jauh ke depan tentang apa yang menjadi kebutuhan bangsanya, integritas, tidak takut hidup mlarat, etika yang baik, dan yang pastinya tidak egois mementingkan kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, baik karena terpaksa maupun tidak.

Yang menjadi pertanyaan adalah adakah sosok negarawan saat ini ? Jawabannya tidak, setidaknya sosok yang memiliki level seperti Gajah Mada. Atau seperti Sjahrir, Hatta dan Natsir. Dimasa ketika segalanya harus menggunakan uang, sangatlah sulit mencari sosok seorang negarawan. Yang ada hanyalah politikus yang memiliki topeng emas negarawan. Jika demikian adanya, maka janganlah bangsa ini berharap akan kemunculan sosok negarawan.

Yang menjadi tuntutan bagi kita semua, rakyat Indonesia, adalah menjadi negarawan bagi diri sendiri. Negarawan yang akan menjadikan tindak tanduk kita dalam sehari-hari jauh dari kemunafikan. Jika demikian, maka bangsa ini akan dipenuhi negarawan-negarawan kecil. Mungkinkah? Mungkin. Karena di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, everything is possible.

Dimuat di Koran Sore Wawasan, 7 Mei 2009 Selengkapnya...

Minggu, 03 Mei 2009

KEGAGALAN TRANSORTASI PUBLIK SEMARANG

Rencana pengoperasian bus rapid transit di Kota Semarang yang sedianya akan dioperasikan pada Januari 2009 ditunda hingga Mei 2009. Penundaan ini terkait dengan belum siapnya infrastruktur pendukung BRT seperti halte, armada bus, dan operasional lapangan. Pengoperasian BRT di Semarang, seperti di Jakarta (Trans-Jakarta), Yogyakarta (Trans-Jogja) dan Bogor (Trans-Pakuan) mempunyai tujuan agar warga meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan BRT yang notabene merupakan angkutan umum.

Dengan terwujudnya tujuan itu diharapkan di Kota Semarang tidak akan terjadi kemacetan parah di masa mendatang. Kemacetan, seperti halnya di Jakarta, merupakan persoalan berat yang harus ditanggung seluruh warga kota. Dari kemacetan inilah, timbul berbagai efek negatif, stres para pengguna jalan, polusi udara yang semakin meningkat, serta timbulnya high cost economy. Kondisi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap aktivitas ekonomi sebuah kota, bahkan negara. Hal ini dikarenakan banyak pusat produksi barang dan jasa berada di kota-kota besar.

Setiap kebijakan yang berasal dari pemerintah pasti mengundang pro dan kontra. Begitupun dengan rencana pengoperasian BRT di Semarang. Pihak yang pro adalah mereka pengguna angkutan umum seperti pelajar, buruh pabrik, dan karyawan.

Mereka yang kontra adalah awak angkutan serta pengusaha angkutan. Alasannya jelas mengapa banyak awak angkutan dan pengusaha angkutan merasa keberatan akan rencana pengoperasian BRT di Kota Semarang, yaitu pendapatan akan berkurang. Bagi awak angkutan, hal ini jelas akan memberatkan target mereka dalam mengejar setoran. Dengan "seretnya" setoran, pengusaha akan kelabakan. Apalagi, hingga saat ini banyak komponen suku cadang armada yang harganya mahal.

Keberatan atas rencana pengoperasian BRT di Semarang jelas ditunjukkan oleh para awak angkutan dan pengusaha yang berada di trayek Mangkang-Penggaron. Sebagaimana diketahui, trayek Mangkang- Penggaron juga menjadi koridor I BRT yang pertama kali akan dioperasikan.

Keberatan atas pengoperasian BRT ini ditanggapi oleh pemkot dengan dikeluarkannya tawaran pembentukan konsorsium kepada pengusaha angkutan. Mungkin bagi pengusaha angkutan hal ini bisa diterima, tetapi belum tentu bagi para awak angkutan. Jika tawaran konsorsium diterima para pengusaha, mau ke mana para awak angkutan yang sebelumnya sudah eksis?

Memang kompleks permasalahan yang ditimbulkan dari sebuah kemacetan kota. Bertambahnya kendaraan pribadi merupakan representasi dari dinamika ekonomi masyarakat. Sedangkan pertambahan panjang jalan sebagai barang publik merupakan representasi dinamika pemerintah, birokrasi, dan teknokratnya. Ketidakseimbangan antara dua dinamika tersebut akan mengakibatkan kemacetan. Di Indonesia, solusi untuk mengatasi kemacetan sebelum diperkenalkannya transportasi publik BRT dengan dibangunnya jalan layang, underpass, jalan lingkar, dan pembangunan jalan tol.

Tidak ada jenis kebijakan yang benar-benar mementingkan aspek jangka panjang yang intinya adalah mengerem pertumbuhan kendaraan, seperti pembatasan kendaraan pribadi, pajak tinggi bagi mobil impor atau mewah, dan yang paling penting pembangunan sarana transportasi publik yang memenuhi standar pelayanan baik yang mementingkan aspek keselamatan, keterjangkauan, dan kenyamanan. Ketiadaan kebijakan ini dampaknya sudah bisa dirasakan hari ini. Kemacetan parah seperti di Jakarta segera akan merembet ke kota besar lain di Indonesia, termasuk juga Semarang. Pengelolaan penyediaan transportasi umum oleh swasta disertai lemahnya institusi pemerintah dalam menyiapkan regulasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan angkutan umum perkotaan telah menjadikan pengelolaan transportasi memiliki siklus pengelolaan, swasta-pemerintah-swasta. Pembentukan konsorsium

Siklus itulah yang sekarang terjadi di Kota Semarang dan hampir semua kota di Indonsia. Pada awal 1980-an hingga awal 1990-an, jasa angkutan umum di perkotaan di Indonesia banyak diselenggarakan oleh pemerintah melalui Damri. Saat ini, penyediaan jasa angkutan umum perkotaan di Indonesia lebih banyak didominasi swasta atau individu. Ketika swasta sudah gagal menyelenggarakan angkutan umum, giliran pemerintah yang akan mengambil alih penyelenggaraan angkutan umum perkotaan.

Akankah fenomena ini terjadi di Semarang serta kota-kota besar lainnya di Indonesia? Entahlah. Tapi yang jelas, pengoperasin BRT di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor serta akan disusul oleh Semarang menunjukkan fenomena tersebut. Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sebuah angkutan perkotaan yang aman, nyaman, dan terjangkau semua golongan, kita patut memberikan dukungan. Namun, yang menjadi catatan penting bagaimana antisipasi terhadap siklus pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi berulang di masa mendatang.

Jika siklus swasta-pemerintah-swasta dalam pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi lagi di masa mendatang, pastinya akan ada biaya ekonomi, politik, dan sosial yang harus di tanggung bersama warga kota. Jika hal tersebut terjadi lagi di masa mendatang, ini membuktikan pemerintah belum lagi bisa mengaplikasikan kebijakan publik yang baik, terutama di bidang angkutan perkotaan.

Jangan sampai kondisi di Semarang terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Perlu adanya sebuah pemecahan bersama atas solusi angkutan perkotaan yang baik. Jika memang siklus pengelolaan angkutan perkotaan bergilir kepada pemerintah, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan yang bisa mengakomodasi semua stakeholder di dalam penyelenggaraan angkutan perkotaan.

Seperti pembentukan konsorsium yang memiliki sifat pengelolaan seperti koperasi. Selain itu, menggandeng perbankan syariah juga bisa menjadi alternatif pembiayaan dalam meremajakan armada yang dimiliki swasta untuk dimasukkan ke dalam konsorsium. Seperti diketahui, banyak dana perbankan, baik konvensional dan syariah yang tidak bisa terserap dalam kegiatan perekonomian dan hanya menganggur di Bank Indonesia. Bagaimanapun juga angkutan perkotaan akan selalu memberikan revenue yang terus-menerus dan bahkan meningkat seiring dengan pelayanan yang baik.

Rusli Abdulah Alumnus Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang

(Dimuat di Kompas Lembar Jawa Tengah,. Kamis, 9 April 2009)

Rencana pengoperasian bus rapid transit di Kota Semarang yang sedianya akan dioperasikan pada Januari 2009 ditunda hingga Mei 2009. Penundaan ini terkait dengan belum siapnya infrastruktur pendukung BRT seperti halte, armada bus, dan operasional lapangan. Pengoperasian BRT di Semarang, seperti di Jakarta (Trans-Jakarta), Yogyakarta (Trans-Jogja) dan Bogor (Trans-Pakuan) mempunyai tujuan agar warga meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan BRT yang notabene merupakan angkutan umum.

Dengan terwujudnya tujuan itu diharapkan di Kota Semarang tidak akan terjadi kemacetan parah di masa mendatang. Kemacetan, seperti halnya di Jakarta, merupakan persoalan berat yang harus ditanggung seluruh warga kota. Dari kemacetan inilah, timbul berbagai efek negatif, stres para pengguna jalan, polusi udara yang semakin meningkat, serta timbulnya high cost economy. Kondisi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap aktivitas ekonomi sebuah kota, bahkan negara. Hal ini dikarenakan banyak pusat produksi barang dan jasa berada di kota-kota besar.

Setiap kebijakan yang berasal dari pemerintah pasti mengundang pro dan kontra. Begitupun dengan rencana pengoperasian BRT di Semarang. Pihak yang pro adalah mereka pengguna angkutan umum seperti pelajar, buruh pabrik, dan karyawan.

Mereka yang kontra adalah awak angkutan serta pengusaha angkutan. Alasannya jelas mengapa banyak awak angkutan dan pengusaha angkutan merasa keberatan akan rencana pengoperasian BRT di Kota Semarang, yaitu pendapatan akan berkurang. Bagi awak angkutan, hal ini jelas akan memberatkan target mereka dalam mengejar setoran. Dengan "seretnya" setoran, pengusaha akan kelabakan. Apalagi, hingga saat ini banyak komponen suku cadang armada yang harganya mahal.

Keberatan atas rencana pengoperasian BRT di Semarang jelas ditunjukkan oleh para awak angkutan dan pengusaha yang berada di trayek Mangkang-Penggaron. Sebagaimana diketahui, trayek Mangkang- Penggaron juga menjadi koridor I BRT yang pertama kali akan dioperasikan.

Keberatan atas pengoperasian BRT ini ditanggapi oleh pemkot dengan dikeluarkannya tawaran pembentukan konsorsium kepada pengusaha angkutan. Mungkin bagi pengusaha angkutan hal ini bisa diterima, tetapi belum tentu bagi para awak angkutan. Jika tawaran konsorsium diterima para pengusaha, mau ke mana para awak angkutan yang sebelumnya sudah eksis?

Memang kompleks permasalahan yang ditimbulkan dari sebuah kemacetan kota. Bertambahnya kendaraan pribadi merupakan representasi dari dinamika ekonomi masyarakat. Sedangkan pertambahan panjang jalan sebagai barang publik merupakan representasi dinamika pemerintah, birokrasi, dan teknokratnya. Ketidakseimbangan antara dua dinamika tersebut akan mengakibatkan kemacetan. Di Indonesia, solusi untuk mengatasi kemacetan sebelum diperkenalkannya transportasi publik BRT dengan dibangunnya jalan layang, underpass, jalan lingkar, dan pembangunan jalan tol.

Tidak ada jenis kebijakan yang benar-benar mementingkan aspek jangka panjang yang intinya adalah mengerem pertumbuhan kendaraan, seperti pembatasan kendaraan pribadi, pajak tinggi bagi mobil impor atau mewah, dan yang paling penting pembangunan sarana transportasi publik yang memenuhi standar pelayanan baik yang mementingkan aspek keselamatan, keterjangkauan, dan kenyamanan. Ketiadaan kebijakan ini dampaknya sudah bisa dirasakan hari ini. Kemacetan parah seperti di Jakarta segera akan merembet ke kota besar lain di Indonesia, termasuk juga Semarang. Pengelolaan penyediaan transportasi umum oleh swasta disertai lemahnya institusi pemerintah dalam menyiapkan regulasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan angkutan umum perkotaan telah menjadikan pengelolaan transportasi memiliki siklus pengelolaan, swasta-pemerintah-swasta. Pembentukan konsorsium

Siklus itulah yang sekarang terjadi di Kota Semarang dan hampir semua kota di Indonsia. Pada awal 1980-an hingga awal 1990-an, jasa angkutan umum di perkotaan di Indonesia banyak diselenggarakan oleh pemerintah melalui Damri. Saat ini, penyediaan jasa angkutan umum perkotaan di Indonesia lebih banyak didominasi swasta atau individu. Ketika swasta sudah gagal menyelenggarakan angkutan umum, giliran pemerintah yang akan mengambil alih penyelenggaraan angkutan umum perkotaan.

Akankah fenomena ini terjadi di Semarang serta kota-kota besar lainnya di Indonesia? Entahlah. Tapi yang jelas, pengoperasin BRT di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor serta akan disusul oleh Semarang menunjukkan fenomena tersebut. Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sebuah angkutan perkotaan yang aman, nyaman, dan terjangkau semua golongan, kita patut memberikan dukungan. Namun, yang menjadi catatan penting bagaimana antisipasi terhadap siklus pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi berulang di masa mendatang.

Jika siklus swasta-pemerintah-swasta dalam pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi lagi di masa mendatang, pastinya akan ada biaya ekonomi, politik, dan sosial yang harus di tanggung bersama warga kota. Jika hal tersebut terjadi lagi di masa mendatang, ini membuktikan pemerintah belum lagi bisa mengaplikasikan kebijakan publik yang baik, terutama di bidang angkutan perkotaan.

Jangan sampai kondisi di Semarang terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Perlu adanya sebuah pemecahan bersama atas solusi angkutan perkotaan yang baik. Jika memang siklus pengelolaan angkutan perkotaan bergilir kepada pemerintah, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan yang bisa mengakomodasi semua stakeholder di dalam penyelenggaraan angkutan perkotaan.

Seperti pembentukan konsorsium yang memiliki sifat pengelolaan seperti koperasi. Selain itu, menggandeng perbankan syariah juga bisa menjadi alternatif pembiayaan dalam meremajakan armada yang dimiliki swasta untuk dimasukkan ke dalam konsorsium. Seperti diketahui, banyak dana perbankan, baik konvensional dan syariah yang tidak bisa terserap dalam kegiatan perekonomian dan hanya menganggur di Bank Indonesia. Bagaimanapun juga angkutan perkotaan akan selalu memberikan revenue yang terus-menerus dan bahkan meningkat seiring dengan pelayanan yang baik.

Rusli Abdulah Alumnus Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang

(Dimuat di Kompas Lembar Jawa Tengah,. Kamis, 9 April 2009)

Selengkapnya...