Laman

Selasa, 25 November 2008

Prinsip Vs Etika Ekonomi

Dunia saat ini panik. Krisis keuangan yang melanda Amerika, yang ditandai bangkrutnya Lehman Brother sebagai salah satu perusahaan jasa keuangan besar dunia, telah merembet ke belahan bumi lain. Harga saham di kawasan Eropa dan Asia mengalami penurunan yang tajam. Tak terkecuali Indonesia.

Krisis keuangan global ini diawali dengan krisis sub-prime mortgage yakni, kredit macet kepemilikan rumah di Amerika Serikat yang meledak pada 2007 lalu. Kredit macet yang disebabkan oleh gaya hidup sebagian besar masyarakat Amerika yang terkenal boros, kini dampaknya menyebar ke penjuru dunia. Awal mula dari kredit macet ini telah dimulai pada tahun 1986 ketika pemerintah Amerika Serikat melakukan reformasi pajak. Dimana salah satu isinya adalah memberikan keringanan pajak kepada pembeli rumah. Keringanan pajak ini juga berlaku bagi masyarakat yang telah memiliki rumah yang ingin membeli rumah satu lagi.

Akibatnya usaha real estate di Amerika Serikat berkembang pesat, dibarengi pula dengan peningkatan kredit kepemilikan rumah. Selain peningkatan kredit kepemilikan rumah, kredit untuk barang-barang konsumtif lainnya juga ikut meningkat. Sifat boros masyarakat Amerika Serikat ini oleh Oprah disebut sebagai gaya hidup masyarakat yang ”lebih besar pasak daripada tiang”.

Dampak sifat konsumtif masyarakat Amerika Serikat bisa terlihat pada utang nasional negara Paman Sam tersebut. John Perkins, dalam bukunya Pengakuan Bandit Ekonomi (2007), menuliskan bahwa utang nasional AS (jumlah uang yang terutang oleh pemerintah federal AS kepada kreditor yang memegang berbagai instrumen utang AS) merupakan yang terbesar di dunia mencapai 8,5 triliun dolar Amerika pada bulan Agustus 2006. Angka ini diperkirakan meningkat seiring dengan semakin gencarnya pemerintah Bush dalam melakukan perangnya di Irak.

Derivasi Kapitalisme

Kapitalisme yang telah menjadi pegangan hidup masyarakat barat semenjak awal abad 19, kini menimbulkan derivasi yang menjadi ancaman bagi dunia. Kapitalisme yang mendewakan materi sebagai simbol kemakmuran suatu bangsa menjadikan eksploitasi terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi menjadi tak terkontrol.

Kapitalisme tumbuh di atas prinsip ekonomi. Dimana prinsip ekonomi menyatakan bahwa manusia sebagai homo economicus harus memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dari kegiatan ekonomi yang dilakukan. Keuntungan yang maksimal harus diperoleh dengan modal yang seminimal mungkin

Prinsip ekonomi yang telah berkontribusi dalam pembentukan pola pikir ekonomi yang keliru, hari ini tidak hanya menyebabkan krisis keuangan global, melainkan juga kerusakan lingkungan, global warming serta ketimpangan ekonomi yang semakin menjadi antara utara dan selatan semakin lebar.

Pembangunan ekonomi yang dilandasi prinsip ekonomi dengan mengesampikan etika ekonomi kini telah memperlihatkan sisi buruknya. Bukan hanya krisis keuangan global, kita bisa melihat berbagai korporasi hari ini melakukan eksploitasi terhadap sumber daya ekonomi (alam) di negara dunia ketiga termasuk Indonesia, hanya demi prinsip ekonomi.

Kasus Newmount, kerusakan hutan Papua sebagai akibat eksploitasi Freeport, ancaman kerusakan Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, merupakan sedikit contoh dari derivasi prinsip ekonomi. Film ”Blood Diamond” yang mangisahkan kisah nyata kegiatan penambangan berlian di Afrika bisa menjadi salah satu referensi kita tentang bagaimana prinsip ekonomi telah menjadi ”Tuhan”. Berlian yang diperoleh dengan darah dan kerja paksa, pada akhirnya menjadi barang mewah yang menjadi pelampiasan nafsu konsumerisme. Film ini menjadi bukti yang datang dari belahan bumi lain tentang kerakusan kapitalisme.

Pentingnya Etika

Dalam pengakuannya sebagai bangit ekonomi, John Perkins menuliskan di akhir bukunya tentang pentingnya perubahan paradigma berpikir kita sebagai homo economicus. Paradigma berpikir yang menuntut kita harus memiliki tanggungjawab moral terhadap anak-anak kita. Tanggung jawab untuk memberikan kualitas kehidupan yang tidak lebih buruk dari apa yang kita nikmati sekarang. Yang dalam ekonomi pembangunan dikenal dengna konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan).

Untuk mewujudkan paradigma tersebut, mutlak diperlukan etika ekonomi. Etika ekonomi yang akan memberikan pegangan kepada manusia sebagai homoeconomicus dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi (alam) yang ada. Etika yang akan memberi batasan bagaiman kita dalam melakukan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi dalam batasan yang normal dan tidak berlebihan (baca : rakus).

Yang menjadi pertanyaan apakah etika ekonomi bisa menghuni otak-otak homoeconomicus mengalahkan prinsip ekonomi? Disaat dunia saat ini sangat membutuhkan manusia-manusia yang memiliki pandangan hidup jauh kedepan.



Dunia saat ini panik. Krisis keuangan yang melanda Amerika, yang ditandai bangkrutnya Lehman Brother sebagai salah satu perusahaan jasa keuangan besar dunia, telah merembet ke belahan bumi lain. Harga saham di kawasan Eropa dan Asia mengalami penurunan yang tajam. Tak terkecuali Indonesia.

Krisis keuangan global ini diawali dengan krisis sub-prime mortgage yakni, kredit macet kepemilikan rumah di Amerika Serikat yang meledak pada 2007 lalu. Kredit macet yang disebabkan oleh gaya hidup sebagian besar masyarakat Amerika yang terkenal boros, kini dampaknya menyebar ke penjuru dunia. Awal mula dari kredit macet ini telah dimulai pada tahun 1986 ketika pemerintah Amerika Serikat melakukan reformasi pajak. Dimana salah satu isinya adalah memberikan keringanan pajak kepada pembeli rumah. Keringanan pajak ini juga berlaku bagi masyarakat yang telah memiliki rumah yang ingin membeli rumah satu lagi.

Akibatnya usaha real estate di Amerika Serikat berkembang pesat, dibarengi pula dengan peningkatan kredit kepemilikan rumah. Selain peningkatan kredit kepemilikan rumah, kredit untuk barang-barang konsumtif lainnya juga ikut meningkat. Sifat boros masyarakat Amerika Serikat ini oleh Oprah disebut sebagai gaya hidup masyarakat yang ”lebih besar pasak daripada tiang”.

Dampak sifat konsumtif masyarakat Amerika Serikat bisa terlihat pada utang nasional negara Paman Sam tersebut. John Perkins, dalam bukunya Pengakuan Bandit Ekonomi (2007), menuliskan bahwa utang nasional AS (jumlah uang yang terutang oleh pemerintah federal AS kepada kreditor yang memegang berbagai instrumen utang AS) merupakan yang terbesar di dunia mencapai 8,5 triliun dolar Amerika pada bulan Agustus 2006. Angka ini diperkirakan meningkat seiring dengan semakin gencarnya pemerintah Bush dalam melakukan perangnya di Irak.

Derivasi Kapitalisme

Kapitalisme yang telah menjadi pegangan hidup masyarakat barat semenjak awal abad 19, kini menimbulkan derivasi yang menjadi ancaman bagi dunia. Kapitalisme yang mendewakan materi sebagai simbol kemakmuran suatu bangsa menjadikan eksploitasi terhadap sumber daya-sumber daya ekonomi menjadi tak terkontrol.

Kapitalisme tumbuh di atas prinsip ekonomi. Dimana prinsip ekonomi menyatakan bahwa manusia sebagai homo economicus harus memperoleh keuntungan yang semaksimal mungkin dari kegiatan ekonomi yang dilakukan. Keuntungan yang maksimal harus diperoleh dengan modal yang seminimal mungkin

Prinsip ekonomi yang telah berkontribusi dalam pembentukan pola pikir ekonomi yang keliru, hari ini tidak hanya menyebabkan krisis keuangan global, melainkan juga kerusakan lingkungan, global warming serta ketimpangan ekonomi yang semakin menjadi antara utara dan selatan semakin lebar.

Pembangunan ekonomi yang dilandasi prinsip ekonomi dengan mengesampikan etika ekonomi kini telah memperlihatkan sisi buruknya. Bukan hanya krisis keuangan global, kita bisa melihat berbagai korporasi hari ini melakukan eksploitasi terhadap sumber daya ekonomi (alam) di negara dunia ketiga termasuk Indonesia, hanya demi prinsip ekonomi.

Kasus Newmount, kerusakan hutan Papua sebagai akibat eksploitasi Freeport, ancaman kerusakan Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh, merupakan sedikit contoh dari derivasi prinsip ekonomi. Film ”Blood Diamond” yang mangisahkan kisah nyata kegiatan penambangan berlian di Afrika bisa menjadi salah satu referensi kita tentang bagaimana prinsip ekonomi telah menjadi ”Tuhan”. Berlian yang diperoleh dengan darah dan kerja paksa, pada akhirnya menjadi barang mewah yang menjadi pelampiasan nafsu konsumerisme. Film ini menjadi bukti yang datang dari belahan bumi lain tentang kerakusan kapitalisme.

Pentingnya Etika

Dalam pengakuannya sebagai bangit ekonomi, John Perkins menuliskan di akhir bukunya tentang pentingnya perubahan paradigma berpikir kita sebagai homo economicus. Paradigma berpikir yang menuntut kita harus memiliki tanggungjawab moral terhadap anak-anak kita. Tanggung jawab untuk memberikan kualitas kehidupan yang tidak lebih buruk dari apa yang kita nikmati sekarang. Yang dalam ekonomi pembangunan dikenal dengna konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan).

Untuk mewujudkan paradigma tersebut, mutlak diperlukan etika ekonomi. Etika ekonomi yang akan memberikan pegangan kepada manusia sebagai homoeconomicus dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi (alam) yang ada. Etika yang akan memberi batasan bagaiman kita dalam melakukan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi dalam batasan yang normal dan tidak berlebihan (baca : rakus).

Yang menjadi pertanyaan apakah etika ekonomi bisa menghuni otak-otak homoeconomicus mengalahkan prinsip ekonomi? Disaat dunia saat ini sangat membutuhkan manusia-manusia yang memiliki pandangan hidup jauh kedepan.



Selengkapnya...

Rabu, 05 November 2008

Ancaman Ketahanan Pangan dan Energi

Sudah menjadi berita tahunan jika musim kemarau menjadi berita tahunan di Indonesia. Kekeringan yang berakibat pada menurunnya produktifitas lahan pertanian ini pada akhirnya mengancam ketahanan pangan nasional. Namun tidak menjadi berita tahunan jika Indonesia saat ini mengalami krisis energi, khususnya listrik.

Pangan dan energi memiliki peran yang sama pentingnya bagi kita. Bedanya, pangan mensuplai nutrisi bagi manusia, sedangkan energi mensuplai ”nutrisi’ bagi kegiatan ekonomi. Pangan memberikan kita energi untuk menjadi manusia yang produktif. Energi menyediakan kekuatan yang bisa dikonversi untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Mesin produksi tidak akan menghasilkan barang kebutuhan jika tidak disertai dengan produktifitas manusia. Jadi pangan dan energi sifatnya saling melengkapi.

Namun ironis dengan apa yang terjadi di Indonesia. Negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, dimana tongkat dan batu bisa jadi makanan, bukan lautan tapi kolam susu, negeri yang memiliki berbagai kandungan sumber daya alam, baik energi maupun mineral, didalamnya terdapat paradoks negeri kaya.

Pangan vs Energi

Krisis pangan dan energi sudah menjadi acaman yang serius bagi Indonesia. Bagaimana tidak, negeri yang membanggakan dirinya sebagai negara agraris, ternyata harus mengimpor apa yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat negeri ini. Komoditas energi yang menjadi kebutuhan pokok selain pangan, tidak bisa tersedia dengan baik di negeri ini. Konsumsi BBM yang berlebih, listrik byarpet, impor minyak dari negeri sekecil Singapura dan kontrak karya yang merugikan bangsa merupakan salah satu contoh indikasi kearah rapuhnya ketahanan dan kedaulatan energi.

Tersisanya bangku kuliah di Jurusan Pertanian diberbagai Universitas di Indonesia (Kompas,1/8), banyaknya sarjana pertanian yang ”kesasar” berkerja di sektor yang jauh dari bau pertanian, konversi lahan pertanian yang semakin tidak terkendali, perubahan iklim global, rusaknya infrastruktur pertanian, leluasanya korporasi asing masuk ke sektor pertanian, serta masih lemahnya akses petani atas modal akan menjadikan krisis pangan bukan lagi menjadi ancaman, namun kenyataan.

Kewajiban penggunaan bahan bakar nabati (biodiesel, dan bioetanol) untuk industri, transportasi, dan listrik yang akan dituangkan dalam perubahan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 51 Tahun 2008 (Kompas, 6/8) akan mempercepat ancaman krisis pangan, seperti apa yang terjadi di dunia saat ini. Meskipun dari sisi kebijakan energi dinilai sangat menguntungkan, tapi dari sisi pertanian belum tentu. Lahan pertanian yang nantinya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan BBN, dikhawatirkan akan mengurangi produktifitas sektor pertanian.

Saat ini, sebelum puncak musi kemarau tiba, fenomena gagal panen akibat kekeringan sudah ada di depan mata. Hal ini tentu saja akan memengaruhi target produksi pangan (padi) nasional. Semua itu terkait dengan rusaknya infrastruktur irigasi pertanian serta tidak adanya pembangunan jaringan irigasi baru selama satu dekade terakhir. Rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS), sebagai akibat dari perencanaan tata ruang yang kacau juga menjadi salah satu penyebabnya.

Satu Sumber

Ancaman krisis pangan dan energi (listrik) di Indonesia, mulanya bersumber dari satu komoditas, air. Air yang memiliki berbagai memanfaat bagi kehidupan kita, memiliki fungsi mengairi bagi pertanian dan juga menghasilkan listrik. Di tahun 1970-1980-an, sebagian pembangkit listrik di Indonesia menggunakan air sebagai pembangkit. Dan di saat bersamaan, pemerintah waktu mulai membangun infrastruktur air, yang pada tahun 1984 mengantarkan Indonesia bisa menjadi negara swasembada beras.

Kini, saat air tidak memiliki peran besar dalam membangkitkan listrik, kalah dengan solar dan batubara, di saat bersamaan hutan-hutan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa sudah hancur. Hutan yang memiliki peran menyimpan air untuk persediaan di musim kemarau, kini sudah beralih fungsi. Sehingga fungsi waduk dan saluran irigasi tidak penuh satu tahun.

Usaha Departemen Pekerjaan Umum untuk melakukan perbaikan berbagai infrastruktur pertanian, perlu mendapatkan apresiasi. Namun dibalik itu semua, apresiasi yang kita berikan tidak akan bertahan lama, bahkan bisa berbalik menjadi cemooh bagi pemerintah. Perbaikan saluran air merupakan upaya jangka pendek. Masih ada upaya yang lebih keras lagi yang perlu dilakukan yakni mengembalikan fungsi hutan serta memperbaiki DAS agar ketersediaan air bisa ada sepanjang tahun. Ketersediaan air ini bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik, sebelum digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Satu dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Mungkin usaha pengembalian fungsi hutan dan perbaikan DAS akan memakan biaya yang besar. Lagipula, seandainya perbaikan menyediakan air sepanjang tahun, toh PLTA yang ada tidak mampu mencukupi kebutuhan listrik seperti tahun 1980 mengingat permintaan energi listrik naik dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Jawabannya benar.

Begitupun dengan fungsi pengairan. Meskipun perbaikan infrastruktur dilakukan, ketersediaan air bisa sepanjang tahun, ketersediaan pangan belum tentu bisa mencukupi kebutuhan kita, mengingat ada faktor bencana alam, iklim dan hama yang bisa menggagalkan panen. Jawabannya benar.

Meskipun pengembalian fungsi hutan dan DAS belum tentu mencukupi kebutuhan pangan dan energi, tapi setidaknya kita telah memberikan harapan hidup bagi generasi mendatang dengan kehidupan yang kualitasnya tidak kalah bagusnya dengan kehidupan kita saat ini, hanya dengan memberi mereka sumber air.

Memang, masalah ketersediaan pangan dan energi yang cukup tidak hanya bisa dipenuhi dengan ketersediaan air saja, akan tetapi bisa dilakukan dengan upaya-upaya lain. Riset tentang iklim, revolusi hijau jilid dua, pemberlakuan lahan abadi, dan kemudahan petani terhadap akses modal merupakan salah satu contohnya.

Di bidang energi, pemanfaatan sumber energi alternatif yang terbarukan juga merupakan salah satu contohnya. Panas bumi, mikro hydro, matahari, ombak, angin merupakan sumber energi yang berserakan di Indonesia. Hanya tinggal menunggu sentuhan tangan-tangan terampil serta nasionalisme anak bangsa untuk memanfaatkannya.

Memang tidak hanya cukup dengan air guna memenuhi kebutuhan pangan dan energi kita. Namun dengan menjaga ketersediaan air sepanjang tahun, setidaknya bangsa ini telah menjadi sekumpulan manusia yang memiliki komitmen untuk menghargai alam, mengingat kerusakan lingkungan hidup yang kian parah.

Sudah menjadi berita tahunan jika musim kemarau menjadi berita tahunan di Indonesia. Kekeringan yang berakibat pada menurunnya produktifitas lahan pertanian ini pada akhirnya mengancam ketahanan pangan nasional. Namun tidak menjadi berita tahunan jika Indonesia saat ini mengalami krisis energi, khususnya listrik.

Pangan dan energi memiliki peran yang sama pentingnya bagi kita. Bedanya, pangan mensuplai nutrisi bagi manusia, sedangkan energi mensuplai ”nutrisi’ bagi kegiatan ekonomi. Pangan memberikan kita energi untuk menjadi manusia yang produktif. Energi menyediakan kekuatan yang bisa dikonversi untuk menjalankan mesin-mesin produksi. Mesin produksi tidak akan menghasilkan barang kebutuhan jika tidak disertai dengan produktifitas manusia. Jadi pangan dan energi sifatnya saling melengkapi.

Namun ironis dengan apa yang terjadi di Indonesia. Negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, dimana tongkat dan batu bisa jadi makanan, bukan lautan tapi kolam susu, negeri yang memiliki berbagai kandungan sumber daya alam, baik energi maupun mineral, didalamnya terdapat paradoks negeri kaya.

Pangan vs Energi

Krisis pangan dan energi sudah menjadi acaman yang serius bagi Indonesia. Bagaimana tidak, negeri yang membanggakan dirinya sebagai negara agraris, ternyata harus mengimpor apa yang menjadi kebutuhan sehari-hari rakyat negeri ini. Komoditas energi yang menjadi kebutuhan pokok selain pangan, tidak bisa tersedia dengan baik di negeri ini. Konsumsi BBM yang berlebih, listrik byarpet, impor minyak dari negeri sekecil Singapura dan kontrak karya yang merugikan bangsa merupakan salah satu contoh indikasi kearah rapuhnya ketahanan dan kedaulatan energi.

Tersisanya bangku kuliah di Jurusan Pertanian diberbagai Universitas di Indonesia (Kompas,1/8), banyaknya sarjana pertanian yang ”kesasar” berkerja di sektor yang jauh dari bau pertanian, konversi lahan pertanian yang semakin tidak terkendali, perubahan iklim global, rusaknya infrastruktur pertanian, leluasanya korporasi asing masuk ke sektor pertanian, serta masih lemahnya akses petani atas modal akan menjadikan krisis pangan bukan lagi menjadi ancaman, namun kenyataan.

Kewajiban penggunaan bahan bakar nabati (biodiesel, dan bioetanol) untuk industri, transportasi, dan listrik yang akan dituangkan dalam perubahan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 51 Tahun 2008 (Kompas, 6/8) akan mempercepat ancaman krisis pangan, seperti apa yang terjadi di dunia saat ini. Meskipun dari sisi kebijakan energi dinilai sangat menguntungkan, tapi dari sisi pertanian belum tentu. Lahan pertanian yang nantinya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan BBN, dikhawatirkan akan mengurangi produktifitas sektor pertanian.

Saat ini, sebelum puncak musi kemarau tiba, fenomena gagal panen akibat kekeringan sudah ada di depan mata. Hal ini tentu saja akan memengaruhi target produksi pangan (padi) nasional. Semua itu terkait dengan rusaknya infrastruktur irigasi pertanian serta tidak adanya pembangunan jaringan irigasi baru selama satu dekade terakhir. Rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS), sebagai akibat dari perencanaan tata ruang yang kacau juga menjadi salah satu penyebabnya.

Satu Sumber

Ancaman krisis pangan dan energi (listrik) di Indonesia, mulanya bersumber dari satu komoditas, air. Air yang memiliki berbagai memanfaat bagi kehidupan kita, memiliki fungsi mengairi bagi pertanian dan juga menghasilkan listrik. Di tahun 1970-1980-an, sebagian pembangkit listrik di Indonesia menggunakan air sebagai pembangkit. Dan di saat bersamaan, pemerintah waktu mulai membangun infrastruktur air, yang pada tahun 1984 mengantarkan Indonesia bisa menjadi negara swasembada beras.

Kini, saat air tidak memiliki peran besar dalam membangkitkan listrik, kalah dengan solar dan batubara, di saat bersamaan hutan-hutan di Indonesia, khususnya Pulau Jawa sudah hancur. Hutan yang memiliki peran menyimpan air untuk persediaan di musim kemarau, kini sudah beralih fungsi. Sehingga fungsi waduk dan saluran irigasi tidak penuh satu tahun.

Usaha Departemen Pekerjaan Umum untuk melakukan perbaikan berbagai infrastruktur pertanian, perlu mendapatkan apresiasi. Namun dibalik itu semua, apresiasi yang kita berikan tidak akan bertahan lama, bahkan bisa berbalik menjadi cemooh bagi pemerintah. Perbaikan saluran air merupakan upaya jangka pendek. Masih ada upaya yang lebih keras lagi yang perlu dilakukan yakni mengembalikan fungsi hutan serta memperbaiki DAS agar ketersediaan air bisa ada sepanjang tahun. Ketersediaan air ini bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik, sebelum digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Satu dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Mungkin usaha pengembalian fungsi hutan dan perbaikan DAS akan memakan biaya yang besar. Lagipula, seandainya perbaikan menyediakan air sepanjang tahun, toh PLTA yang ada tidak mampu mencukupi kebutuhan listrik seperti tahun 1980 mengingat permintaan energi listrik naik dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk. Jawabannya benar.

Begitupun dengan fungsi pengairan. Meskipun perbaikan infrastruktur dilakukan, ketersediaan air bisa sepanjang tahun, ketersediaan pangan belum tentu bisa mencukupi kebutuhan kita, mengingat ada faktor bencana alam, iklim dan hama yang bisa menggagalkan panen. Jawabannya benar.

Meskipun pengembalian fungsi hutan dan DAS belum tentu mencukupi kebutuhan pangan dan energi, tapi setidaknya kita telah memberikan harapan hidup bagi generasi mendatang dengan kehidupan yang kualitasnya tidak kalah bagusnya dengan kehidupan kita saat ini, hanya dengan memberi mereka sumber air.

Memang, masalah ketersediaan pangan dan energi yang cukup tidak hanya bisa dipenuhi dengan ketersediaan air saja, akan tetapi bisa dilakukan dengan upaya-upaya lain. Riset tentang iklim, revolusi hijau jilid dua, pemberlakuan lahan abadi, dan kemudahan petani terhadap akses modal merupakan salah satu contohnya.

Di bidang energi, pemanfaatan sumber energi alternatif yang terbarukan juga merupakan salah satu contohnya. Panas bumi, mikro hydro, matahari, ombak, angin merupakan sumber energi yang berserakan di Indonesia. Hanya tinggal menunggu sentuhan tangan-tangan terampil serta nasionalisme anak bangsa untuk memanfaatkannya.

Memang tidak hanya cukup dengan air guna memenuhi kebutuhan pangan dan energi kita. Namun dengan menjaga ketersediaan air sepanjang tahun, setidaknya bangsa ini telah menjadi sekumpulan manusia yang memiliki komitmen untuk menghargai alam, mengingat kerusakan lingkungan hidup yang kian parah.

Selengkapnya...