Laman

Minggu, 03 Mei 2009

KEGAGALAN TRANSORTASI PUBLIK SEMARANG

Rencana pengoperasian bus rapid transit di Kota Semarang yang sedianya akan dioperasikan pada Januari 2009 ditunda hingga Mei 2009. Penundaan ini terkait dengan belum siapnya infrastruktur pendukung BRT seperti halte, armada bus, dan operasional lapangan. Pengoperasian BRT di Semarang, seperti di Jakarta (Trans-Jakarta), Yogyakarta (Trans-Jogja) dan Bogor (Trans-Pakuan) mempunyai tujuan agar warga meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan BRT yang notabene merupakan angkutan umum.

Dengan terwujudnya tujuan itu diharapkan di Kota Semarang tidak akan terjadi kemacetan parah di masa mendatang. Kemacetan, seperti halnya di Jakarta, merupakan persoalan berat yang harus ditanggung seluruh warga kota. Dari kemacetan inilah, timbul berbagai efek negatif, stres para pengguna jalan, polusi udara yang semakin meningkat, serta timbulnya high cost economy. Kondisi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap aktivitas ekonomi sebuah kota, bahkan negara. Hal ini dikarenakan banyak pusat produksi barang dan jasa berada di kota-kota besar.

Setiap kebijakan yang berasal dari pemerintah pasti mengundang pro dan kontra. Begitupun dengan rencana pengoperasian BRT di Semarang. Pihak yang pro adalah mereka pengguna angkutan umum seperti pelajar, buruh pabrik, dan karyawan.

Mereka yang kontra adalah awak angkutan serta pengusaha angkutan. Alasannya jelas mengapa banyak awak angkutan dan pengusaha angkutan merasa keberatan akan rencana pengoperasian BRT di Kota Semarang, yaitu pendapatan akan berkurang. Bagi awak angkutan, hal ini jelas akan memberatkan target mereka dalam mengejar setoran. Dengan "seretnya" setoran, pengusaha akan kelabakan. Apalagi, hingga saat ini banyak komponen suku cadang armada yang harganya mahal.

Keberatan atas rencana pengoperasian BRT di Semarang jelas ditunjukkan oleh para awak angkutan dan pengusaha yang berada di trayek Mangkang-Penggaron. Sebagaimana diketahui, trayek Mangkang- Penggaron juga menjadi koridor I BRT yang pertama kali akan dioperasikan.

Keberatan atas pengoperasian BRT ini ditanggapi oleh pemkot dengan dikeluarkannya tawaran pembentukan konsorsium kepada pengusaha angkutan. Mungkin bagi pengusaha angkutan hal ini bisa diterima, tetapi belum tentu bagi para awak angkutan. Jika tawaran konsorsium diterima para pengusaha, mau ke mana para awak angkutan yang sebelumnya sudah eksis?

Memang kompleks permasalahan yang ditimbulkan dari sebuah kemacetan kota. Bertambahnya kendaraan pribadi merupakan representasi dari dinamika ekonomi masyarakat. Sedangkan pertambahan panjang jalan sebagai barang publik merupakan representasi dinamika pemerintah, birokrasi, dan teknokratnya. Ketidakseimbangan antara dua dinamika tersebut akan mengakibatkan kemacetan. Di Indonesia, solusi untuk mengatasi kemacetan sebelum diperkenalkannya transportasi publik BRT dengan dibangunnya jalan layang, underpass, jalan lingkar, dan pembangunan jalan tol.

Tidak ada jenis kebijakan yang benar-benar mementingkan aspek jangka panjang yang intinya adalah mengerem pertumbuhan kendaraan, seperti pembatasan kendaraan pribadi, pajak tinggi bagi mobil impor atau mewah, dan yang paling penting pembangunan sarana transportasi publik yang memenuhi standar pelayanan baik yang mementingkan aspek keselamatan, keterjangkauan, dan kenyamanan. Ketiadaan kebijakan ini dampaknya sudah bisa dirasakan hari ini. Kemacetan parah seperti di Jakarta segera akan merembet ke kota besar lain di Indonesia, termasuk juga Semarang. Pengelolaan penyediaan transportasi umum oleh swasta disertai lemahnya institusi pemerintah dalam menyiapkan regulasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan angkutan umum perkotaan telah menjadikan pengelolaan transportasi memiliki siklus pengelolaan, swasta-pemerintah-swasta. Pembentukan konsorsium

Siklus itulah yang sekarang terjadi di Kota Semarang dan hampir semua kota di Indonsia. Pada awal 1980-an hingga awal 1990-an, jasa angkutan umum di perkotaan di Indonesia banyak diselenggarakan oleh pemerintah melalui Damri. Saat ini, penyediaan jasa angkutan umum perkotaan di Indonesia lebih banyak didominasi swasta atau individu. Ketika swasta sudah gagal menyelenggarakan angkutan umum, giliran pemerintah yang akan mengambil alih penyelenggaraan angkutan umum perkotaan.

Akankah fenomena ini terjadi di Semarang serta kota-kota besar lainnya di Indonesia? Entahlah. Tapi yang jelas, pengoperasin BRT di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor serta akan disusul oleh Semarang menunjukkan fenomena tersebut. Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sebuah angkutan perkotaan yang aman, nyaman, dan terjangkau semua golongan, kita patut memberikan dukungan. Namun, yang menjadi catatan penting bagaimana antisipasi terhadap siklus pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi berulang di masa mendatang.

Jika siklus swasta-pemerintah-swasta dalam pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi lagi di masa mendatang, pastinya akan ada biaya ekonomi, politik, dan sosial yang harus di tanggung bersama warga kota. Jika hal tersebut terjadi lagi di masa mendatang, ini membuktikan pemerintah belum lagi bisa mengaplikasikan kebijakan publik yang baik, terutama di bidang angkutan perkotaan.

Jangan sampai kondisi di Semarang terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Perlu adanya sebuah pemecahan bersama atas solusi angkutan perkotaan yang baik. Jika memang siklus pengelolaan angkutan perkotaan bergilir kepada pemerintah, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan yang bisa mengakomodasi semua stakeholder di dalam penyelenggaraan angkutan perkotaan.

Seperti pembentukan konsorsium yang memiliki sifat pengelolaan seperti koperasi. Selain itu, menggandeng perbankan syariah juga bisa menjadi alternatif pembiayaan dalam meremajakan armada yang dimiliki swasta untuk dimasukkan ke dalam konsorsium. Seperti diketahui, banyak dana perbankan, baik konvensional dan syariah yang tidak bisa terserap dalam kegiatan perekonomian dan hanya menganggur di Bank Indonesia. Bagaimanapun juga angkutan perkotaan akan selalu memberikan revenue yang terus-menerus dan bahkan meningkat seiring dengan pelayanan yang baik.

Rusli Abdulah Alumnus Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang

(Dimuat di Kompas Lembar Jawa Tengah,. Kamis, 9 April 2009)

Rencana pengoperasian bus rapid transit di Kota Semarang yang sedianya akan dioperasikan pada Januari 2009 ditunda hingga Mei 2009. Penundaan ini terkait dengan belum siapnya infrastruktur pendukung BRT seperti halte, armada bus, dan operasional lapangan. Pengoperasian BRT di Semarang, seperti di Jakarta (Trans-Jakarta), Yogyakarta (Trans-Jogja) dan Bogor (Trans-Pakuan) mempunyai tujuan agar warga meninggalkan kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan BRT yang notabene merupakan angkutan umum.

Dengan terwujudnya tujuan itu diharapkan di Kota Semarang tidak akan terjadi kemacetan parah di masa mendatang. Kemacetan, seperti halnya di Jakarta, merupakan persoalan berat yang harus ditanggung seluruh warga kota. Dari kemacetan inilah, timbul berbagai efek negatif, stres para pengguna jalan, polusi udara yang semakin meningkat, serta timbulnya high cost economy. Kondisi tersebut memiliki implikasi negatif terhadap aktivitas ekonomi sebuah kota, bahkan negara. Hal ini dikarenakan banyak pusat produksi barang dan jasa berada di kota-kota besar.

Setiap kebijakan yang berasal dari pemerintah pasti mengundang pro dan kontra. Begitupun dengan rencana pengoperasian BRT di Semarang. Pihak yang pro adalah mereka pengguna angkutan umum seperti pelajar, buruh pabrik, dan karyawan.

Mereka yang kontra adalah awak angkutan serta pengusaha angkutan. Alasannya jelas mengapa banyak awak angkutan dan pengusaha angkutan merasa keberatan akan rencana pengoperasian BRT di Kota Semarang, yaitu pendapatan akan berkurang. Bagi awak angkutan, hal ini jelas akan memberatkan target mereka dalam mengejar setoran. Dengan "seretnya" setoran, pengusaha akan kelabakan. Apalagi, hingga saat ini banyak komponen suku cadang armada yang harganya mahal.

Keberatan atas rencana pengoperasian BRT di Semarang jelas ditunjukkan oleh para awak angkutan dan pengusaha yang berada di trayek Mangkang-Penggaron. Sebagaimana diketahui, trayek Mangkang- Penggaron juga menjadi koridor I BRT yang pertama kali akan dioperasikan.

Keberatan atas pengoperasian BRT ini ditanggapi oleh pemkot dengan dikeluarkannya tawaran pembentukan konsorsium kepada pengusaha angkutan. Mungkin bagi pengusaha angkutan hal ini bisa diterima, tetapi belum tentu bagi para awak angkutan. Jika tawaran konsorsium diterima para pengusaha, mau ke mana para awak angkutan yang sebelumnya sudah eksis?

Memang kompleks permasalahan yang ditimbulkan dari sebuah kemacetan kota. Bertambahnya kendaraan pribadi merupakan representasi dari dinamika ekonomi masyarakat. Sedangkan pertambahan panjang jalan sebagai barang publik merupakan representasi dinamika pemerintah, birokrasi, dan teknokratnya. Ketidakseimbangan antara dua dinamika tersebut akan mengakibatkan kemacetan. Di Indonesia, solusi untuk mengatasi kemacetan sebelum diperkenalkannya transportasi publik BRT dengan dibangunnya jalan layang, underpass, jalan lingkar, dan pembangunan jalan tol.

Tidak ada jenis kebijakan yang benar-benar mementingkan aspek jangka panjang yang intinya adalah mengerem pertumbuhan kendaraan, seperti pembatasan kendaraan pribadi, pajak tinggi bagi mobil impor atau mewah, dan yang paling penting pembangunan sarana transportasi publik yang memenuhi standar pelayanan baik yang mementingkan aspek keselamatan, keterjangkauan, dan kenyamanan. Ketiadaan kebijakan ini dampaknya sudah bisa dirasakan hari ini. Kemacetan parah seperti di Jakarta segera akan merembet ke kota besar lain di Indonesia, termasuk juga Semarang. Pengelolaan penyediaan transportasi umum oleh swasta disertai lemahnya institusi pemerintah dalam menyiapkan regulasi serta pengawasan terhadap penyelenggaraan angkutan umum perkotaan telah menjadikan pengelolaan transportasi memiliki siklus pengelolaan, swasta-pemerintah-swasta. Pembentukan konsorsium

Siklus itulah yang sekarang terjadi di Kota Semarang dan hampir semua kota di Indonsia. Pada awal 1980-an hingga awal 1990-an, jasa angkutan umum di perkotaan di Indonesia banyak diselenggarakan oleh pemerintah melalui Damri. Saat ini, penyediaan jasa angkutan umum perkotaan di Indonesia lebih banyak didominasi swasta atau individu. Ketika swasta sudah gagal menyelenggarakan angkutan umum, giliran pemerintah yang akan mengambil alih penyelenggaraan angkutan umum perkotaan.

Akankah fenomena ini terjadi di Semarang serta kota-kota besar lainnya di Indonesia? Entahlah. Tapi yang jelas, pengoperasin BRT di Jakarta, Yogyakarta, dan Bogor serta akan disusul oleh Semarang menunjukkan fenomena tersebut. Jika pemerintah benar-benar ingin mewujudkan sebuah angkutan perkotaan yang aman, nyaman, dan terjangkau semua golongan, kita patut memberikan dukungan. Namun, yang menjadi catatan penting bagaimana antisipasi terhadap siklus pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi berulang di masa mendatang.

Jika siklus swasta-pemerintah-swasta dalam pengelolaan angkutan umum perkotaan terjadi lagi di masa mendatang, pastinya akan ada biaya ekonomi, politik, dan sosial yang harus di tanggung bersama warga kota. Jika hal tersebut terjadi lagi di masa mendatang, ini membuktikan pemerintah belum lagi bisa mengaplikasikan kebijakan publik yang baik, terutama di bidang angkutan perkotaan.

Jangan sampai kondisi di Semarang terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia. Perlu adanya sebuah pemecahan bersama atas solusi angkutan perkotaan yang baik. Jika memang siklus pengelolaan angkutan perkotaan bergilir kepada pemerintah, sudah saatnya pemerintah mengambil kebijakan yang bisa mengakomodasi semua stakeholder di dalam penyelenggaraan angkutan perkotaan.

Seperti pembentukan konsorsium yang memiliki sifat pengelolaan seperti koperasi. Selain itu, menggandeng perbankan syariah juga bisa menjadi alternatif pembiayaan dalam meremajakan armada yang dimiliki swasta untuk dimasukkan ke dalam konsorsium. Seperti diketahui, banyak dana perbankan, baik konvensional dan syariah yang tidak bisa terserap dalam kegiatan perekonomian dan hanya menganggur di Bank Indonesia. Bagaimanapun juga angkutan perkotaan akan selalu memberikan revenue yang terus-menerus dan bahkan meningkat seiring dengan pelayanan yang baik.

Rusli Abdulah Alumnus Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang

(Dimuat di Kompas Lembar Jawa Tengah,. Kamis, 9 April 2009)

Tidak ada komentar: