Laman

Sabtu, 20 Desember 2008

RENCANA PENGOPERASIAN BUS RAPID TRANSIT


KONDISI transportasi publik di Kota Semarang dari waktu ke waktu tidak bertambah baik, bahkan cenderung memburuk. Hal itu bisa dilihat dari pelayanan transportasi publik yang kurang memerhatikan aspek keselamatan, kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu.

Pengesampingan aspek-aspek itulah, yang mengakibatkan semakin banyaknya kendaraan pribadi —baik mobil maupun sepeda motor— yang memadati jalan raya di Kota Semarang.

Kondisi tersebut menjadikan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang mengeluarkan kebijakan pengoperasian BRT (Bus Rapid Transit) sebagai salah satu solusi untuk menyediakan sarana transportasi publik yang baik.

Rencana pengoperasian BRT yang rencananya akan dimulai pada awal 2009, di mata Pemkot Semarang dipandang sebagai salah satu solusi penyediaan transportasi publik yang baik. Namun hal itu tidak berlaku bagi stakeholders yang lain, seperti para pengusaha angkutan, awak angkutan, petugas timer angkot, serta masyarakat pengguna jasa transportasi itu sendiri.

Dengan dioperasikannya BRT, bisa jadi pendapatan awak serta pengusaha angkutan berkurang, terutama di jalur yang nantinya akan dilewati BRT. Bisa pula warga Kota Semarang enggan menggunakan BRT.

Dengan tiket Rp 3.000 untuk setiap trip, biaya yang dikeluarkan masih lebih murah jika menggunakan sepeda motor. Jadi, apakah BRT sebuah solusi untuk memperbaiki kondisi transportasi publik yang buruk di Kota Semarang? Jawabannya, belum tentu.


Akar Permasalahan

Tujuan yang ingin dicapai oleh Pemkot Semarang berkait dengan kandisi transportasi publik perkotaan yang semakin memburuk adalah memperbaikinya. Dengan kondisi transportasi publik perkotaan yang buruk, warga kota akan enggan memanfaatkannya. Dengan memperbaikinya, diharapkan warga kota akan memanfaatkannya.

Permasalahan utama yang muncul di dalam sektor transportasi publik di Kota Semarang dan hampir berlaku umum di kota-kota besar dan kecil diseluruh Indonesia adalah ketidaknyamanan, ketidakterjangkauan (cenderung mahal), serta terabaikannya aspek keselamatan dan keamanan.

Keempat aspek tersebut bisa dijadikan sebagai tolok ukur sederhana untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi transportasi publik. Jika aspek-aspek tersebut tidak terpenuhi, bisa dipastikan masyarakat akan cenderung meninggalkan transportasi publik sebagai sarana penunjang aktivitas keseharian mereka. Lalu yang terjadi di lapangan adalah aspek-aspek tersebut hampir semua tidak bisa terpenuhi dalam penyediaan transportasi publik di kota-kota besar dan kecil di Indonesia.

Ada satu penyebab yang menurut saya adalah suatu hal yang sangat krusial dan perlu segera dibenahi, yakni berlakunya sistem kejar setoran. Sistem kejar setoran yang berlaku umum di dalam penyelenggaraan transportasi publik, terutama angkutan kota, akan mengakibatkan aspek kenyamanan, keterjangkauan, keselamatan, dart keamanan yang seharusnya dinomorsatukan dikesampingkan.

Beban nilai setoran yang dibebankan kepada awak angkutan oleh pengusaha (juragan) setiap harinya akan mengakibatkan para awak angkutan tidak akan begitu peduli dengan aspek-aspek pokok penyelenggaraan transportasi publik yang baik.

Ketepatan waktu menjadi terabaikan, ketika sopir ngetem terlalu lama dengan alasan angkot belum penuh yang bisa menjadikan setoran tidak bisa dipenuhi. Keselamatan penumpang akan terabaikan ketika para sopir kebut-kebutan memperebutkan para penumpang. Alasannya jelas, agar penghasilannya bertambah, setoran pun bisa tertutupi.

Pengoperasian BRT bukanlah merupakan solusi yang tepat. Harga tiket masih dinilai mahal, tidak terlayaninya seluruh trayek, dan kekhawatiran penurunan pendapatan para awak dan pengusaha angkutan. Jika hal itu terjadi, jelas pengusaha dan awak angkutan akan menjadi terpinggirkan. Pengangguran pun bisa bertambah.

Yang diperlukan oleh Pemkot Semarang adalah bagaimana agar penyediaan transportasi publik bisa memenuhi standar keselamatan, kenyamanan, ketepatan waktu dan keterjangkauan. Ditambah, tanpa harus mengorbankan keberadaan para awak dan pengusaha angkutan yang ada. Pengoperasian BRT jelas belum meng-cover semua kepentingan stakeholder yang ada.

Solusi

Yang bisa dilakukan oleh Pemkot Semarang adalah membantu menghilangkan sistem kejar setoran yang berlaku di dalam penyelenggaraan transportasi publik oleh pihak swasta. Peniadaan sistem itu akan terasa memberatkan bagi para pengusaha angkutan. Hal itu dikarenakan oleh biaya tetap (fixed cost) yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan untuk mengoperasikan moda angkutannya setiap hari. Dengan penghapusan sistem kejar setoran, dikhawatirkan biaya tetap tidak bisa tertutupi, dikarenakan oleh tidak adanya pemasukan pasti yang berasal dari para awak angkutan.

Untuk menggantinya, sistem kejar setoran bisa diganti dengan sistem bagi hasil. Dengan sistem itu, maka para awak angkutan tidak lagi memiliki beban tanggungan setoran setiap hari. Tanggung jawab awak angkutan adalah menyediakan pelayanan transportasi publik yang baik, sehingga keselamatan, kenyamanan, dan ketepatan waktu bisa terwujud.

Harapan terbesarnya adalah warga Kota Semarang bisa beralih ke angkutan umum dan meninggalkan kendaraan pribadinya.Dengan semakin banyak masyarakat yang menggunakan angkutan umum, biaya tetap pengoperasian moda angkutan akan tertutupi. Seandainya tidak, tetap bisa diusahakan dengan dana subsidi dari pemerintah, yang salah satunya bisa diambil dari pos subsidi bahan bakar minyak

(Pernah dimuat di Wacana Lokal, Harian Umum Suara Merdeka, 25 November 2008)


KONDISI transportasi publik di Kota Semarang dari waktu ke waktu tidak bertambah baik, bahkan cenderung memburuk. Hal itu bisa dilihat dari pelayanan transportasi publik yang kurang memerhatikan aspek keselamatan, kenyamanan, keamanan, dan ketepatan waktu.

Pengesampingan aspek-aspek itulah, yang mengakibatkan semakin banyaknya kendaraan pribadi —baik mobil maupun sepeda motor— yang memadati jalan raya di Kota Semarang.

Kondisi tersebut menjadikan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang mengeluarkan kebijakan pengoperasian BRT (Bus Rapid Transit) sebagai salah satu solusi untuk menyediakan sarana transportasi publik yang baik.

Rencana pengoperasian BRT yang rencananya akan dimulai pada awal 2009, di mata Pemkot Semarang dipandang sebagai salah satu solusi penyediaan transportasi publik yang baik. Namun hal itu tidak berlaku bagi stakeholders yang lain, seperti para pengusaha angkutan, awak angkutan, petugas timer angkot, serta masyarakat pengguna jasa transportasi itu sendiri.

Dengan dioperasikannya BRT, bisa jadi pendapatan awak serta pengusaha angkutan berkurang, terutama di jalur yang nantinya akan dilewati BRT. Bisa pula warga Kota Semarang enggan menggunakan BRT.

Dengan tiket Rp 3.000 untuk setiap trip, biaya yang dikeluarkan masih lebih murah jika menggunakan sepeda motor. Jadi, apakah BRT sebuah solusi untuk memperbaiki kondisi transportasi publik yang buruk di Kota Semarang? Jawabannya, belum tentu.


Akar Permasalahan

Tujuan yang ingin dicapai oleh Pemkot Semarang berkait dengan kandisi transportasi publik perkotaan yang semakin memburuk adalah memperbaikinya. Dengan kondisi transportasi publik perkotaan yang buruk, warga kota akan enggan memanfaatkannya. Dengan memperbaikinya, diharapkan warga kota akan memanfaatkannya.

Permasalahan utama yang muncul di dalam sektor transportasi publik di Kota Semarang dan hampir berlaku umum di kota-kota besar dan kecil diseluruh Indonesia adalah ketidaknyamanan, ketidakterjangkauan (cenderung mahal), serta terabaikannya aspek keselamatan dan keamanan.

Keempat aspek tersebut bisa dijadikan sebagai tolok ukur sederhana untuk melakukan evaluasi terhadap kondisi transportasi publik. Jika aspek-aspek tersebut tidak terpenuhi, bisa dipastikan masyarakat akan cenderung meninggalkan transportasi publik sebagai sarana penunjang aktivitas keseharian mereka. Lalu yang terjadi di lapangan adalah aspek-aspek tersebut hampir semua tidak bisa terpenuhi dalam penyediaan transportasi publik di kota-kota besar dan kecil di Indonesia.

Ada satu penyebab yang menurut saya adalah suatu hal yang sangat krusial dan perlu segera dibenahi, yakni berlakunya sistem kejar setoran. Sistem kejar setoran yang berlaku umum di dalam penyelenggaraan transportasi publik, terutama angkutan kota, akan mengakibatkan aspek kenyamanan, keterjangkauan, keselamatan, dart keamanan yang seharusnya dinomorsatukan dikesampingkan.

Beban nilai setoran yang dibebankan kepada awak angkutan oleh pengusaha (juragan) setiap harinya akan mengakibatkan para awak angkutan tidak akan begitu peduli dengan aspek-aspek pokok penyelenggaraan transportasi publik yang baik.

Ketepatan waktu menjadi terabaikan, ketika sopir ngetem terlalu lama dengan alasan angkot belum penuh yang bisa menjadikan setoran tidak bisa dipenuhi. Keselamatan penumpang akan terabaikan ketika para sopir kebut-kebutan memperebutkan para penumpang. Alasannya jelas, agar penghasilannya bertambah, setoran pun bisa tertutupi.

Pengoperasian BRT bukanlah merupakan solusi yang tepat. Harga tiket masih dinilai mahal, tidak terlayaninya seluruh trayek, dan kekhawatiran penurunan pendapatan para awak dan pengusaha angkutan. Jika hal itu terjadi, jelas pengusaha dan awak angkutan akan menjadi terpinggirkan. Pengangguran pun bisa bertambah.

Yang diperlukan oleh Pemkot Semarang adalah bagaimana agar penyediaan transportasi publik bisa memenuhi standar keselamatan, kenyamanan, ketepatan waktu dan keterjangkauan. Ditambah, tanpa harus mengorbankan keberadaan para awak dan pengusaha angkutan yang ada. Pengoperasian BRT jelas belum meng-cover semua kepentingan stakeholder yang ada.

Solusi

Yang bisa dilakukan oleh Pemkot Semarang adalah membantu menghilangkan sistem kejar setoran yang berlaku di dalam penyelenggaraan transportasi publik oleh pihak swasta. Peniadaan sistem itu akan terasa memberatkan bagi para pengusaha angkutan. Hal itu dikarenakan oleh biaya tetap (fixed cost) yang harus ditanggung oleh pengusaha angkutan untuk mengoperasikan moda angkutannya setiap hari. Dengan penghapusan sistem kejar setoran, dikhawatirkan biaya tetap tidak bisa tertutupi, dikarenakan oleh tidak adanya pemasukan pasti yang berasal dari para awak angkutan.

Untuk menggantinya, sistem kejar setoran bisa diganti dengan sistem bagi hasil. Dengan sistem itu, maka para awak angkutan tidak lagi memiliki beban tanggungan setoran setiap hari. Tanggung jawab awak angkutan adalah menyediakan pelayanan transportasi publik yang baik, sehingga keselamatan, kenyamanan, dan ketepatan waktu bisa terwujud.

Harapan terbesarnya adalah warga Kota Semarang bisa beralih ke angkutan umum dan meninggalkan kendaraan pribadinya.Dengan semakin banyak masyarakat yang menggunakan angkutan umum, biaya tetap pengoperasian moda angkutan akan tertutupi. Seandainya tidak, tetap bisa diusahakan dengan dana subsidi dari pemerintah, yang salah satunya bisa diambil dari pos subsidi bahan bakar minyak

(Pernah dimuat di Wacana Lokal, Harian Umum Suara Merdeka, 25 November 2008)

Tidak ada komentar: